DARI DISKUSI SENI “KREATIVITAS DAN JEJARING GLOBAL”
Nindityo, Seni, dan Kolaborasi
Dunia kreativitas hari-hari belakangan ini semakin disibukkan dengan ranah kreativitas kolaboratif dan perluasan jejaring hingga tingkat yang global. Globalisasi yang semakin merangsek di tengah masyarakat posmodern menuntut para pegiat seni di dalamnya mampu berbuat lebih kreatif dengan memadukan unsur-unsur lokal dengan kolaborasi citarasa internasional yang akan dipertontonkan di publik di luar akar budayanya. Inilah yang menjadi bahasan menarik “sharing” pengalaman dari Nindityo Adipurnomo, seniman lokal dengan pengalaman global, yang diundang oleh Rumah Seni Yaitu pada Selasa (23/9) lalu.
Bagi dunia seni Indonesia, nama Nindityo Adipurnomo mungkin saja bukan orang asing. Apalagi di ranah seni visual yang melibatkan secara intensif namanya sejak puluhan tahun lalu. Pemilik Cemeti Art House Jogjakarta ini pada Selasa (23/9) yang lalu diundang oleh Tubagus P. Svarajati, pemilik Rumah Seni Yaitu untuk berbagi pengalaman dirinya yang melanglang ke Tamshui, Taiwan dan Arnheim, Belanda untuk mengeksplorasi kreativitas seni visual yang peruntukan konsumsinya adalah masyarakat di luar akar budaya Indonesia yang menjadi kebangsaannya. Diskusi yang berlangsung santai namun bernas tersebut dihelat di tengah riuhnya malam “selikuran” di bulan Ramadhan yang bagi kebanyakan orang adalah masa terakhir menuai manisnya bulan Ramadhan. Pegiat seni visual Semarang dengan teman-teman mahasiswa yang menjadi pemerhati seni memaknainya dengan berasyik-masyuk menyimak cerita dari sang tamu yang menyempatkan diri datang dari Jogjakarta di tengah kesibukannya yang pada merayap. Suasana Rumah Seni Yaitu yang berada di bilangan Kampung Jambe tersebut menjadi hidup dengan diskusi mengenai seni kolaborasi yang sedang diusung oleh Nindityo ke ranah publik. Nindityo membuka diskusi malam itu dengan sebuah makalah berjudul “Kolaborasi Interdisipliner dalam Kerja Kesenian”. Makalah ini diorasikan di depan puluhan pengunjung yang menjejali tikar sembari lesehan ditemani air mineral dan gorengan. Nindityo dengan gaya seorang penutur menceritakan prolognya tentang kerja kolaborasi seni yang membawanya bisa mewujudkan sebuah proses kreatif di dua masa residensi seninya di tahun 2007-2008 ini. Di tahun 2007, Nindityo selama sebulan mendapat kesempatan mengeksplorasi kreativitas di sebuah kota di Prefektur Taipei, Taiwan bernama Tamshui. Kota yang relatif sedang ini tengah bertumbuh menjadi sebuah kota industri budaya yang juga masih harus bertekuk di hadapan hempasan komersialisasi dan kapitalisasi. Oleh perangkat kota tersebut, Nindityo dipersilakan untuk membuat pergelaran seni di sebuah rumah tua yang setelah pergelarannya akan dihancurkan untuk menjadi bangunan mal. Suami dari Mella Jaarsma ini kemudian menceritakan proses kreatifnya yang menghasilkan sebuah karya instalasi yang bertajuk “The Glass Cages and Stolen Space”. Pergelaran ini digali dari sebuah “insight” yang dilakukan Nindityo terhadap 10 orang ibu rumah tangga asal Asia Tenggara yang bersuamikan pria asli Taiwan. Mereka kebanyakan tinggal dan beraktivitas domestik di tumpukan bangunan apartemen yang tak ubahnya sebuah “sangkar kaca”. Nindityo—dengan keterbatasan vokabulari Mandarinnya—mengeksplorasi momen paling membahagiakan dalam kehidupan ibu-ibu tersebut. Hasilnya adalah sebuah perpaduan karya seni yang ingin menceritakan kepada dunia bahwa eksistensi mereka di rumah adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah rekaman hidup. Momentum kebahagiaan yang umumnya adalah momen pernikahan dan kelahiran anak pertama dikolase menjadi sebuah perpaduan seni instalasi berlatarkan mozaik reproduksi foto-foto momentum kebahagiaan mereka dan rekaman wawancara Nindityo dengan mereka. Hasilnya, sebuah impresi luar biasa yang mampu mengembangkan senyum simpul di setiap ibu-ibu yang diwawancarai. Pergelaran dikunjungi oleh banyak tetamu yang terkesan dengan bentuk-bentuk instalasi Nindityo yang seakan-akan membawa inspirasi baru bagi motif seni baru di Taiwan. Usai berujar tentang pengalamannya di Tamshui, Nindityo kemudian meneruskan ceritanya dengan pengalamannya bersama istrinya. Mella Jaarsma yang menjadi salah satu peserta International Sclupture Exhibition yang dihelat di Arnheim, Belanda. Di negeri kincir angin tersebut, Nindityo membawa instalasi yang menggambarkan 9 lubang hawa nafsu manusia mulai dari dua kelopak mata hingga anus. Penggambarannya dilakukan dengan berbagai bentuk yang mencerminkan kolaborasi antara Nindityo dengan artisannya yang tersebar di penjuru Jogjakarta hingga ke Sukoharjo. Nindityo ingin menjelaskan jika fenomena seni kontemporer mengajak kita untuk berpikir lebih kreatif dan melibatkan lebih banyak sumberdaya untuk mewujudkan karya seni. Sudah bukan zamannya lagi seorang pekerja seni menyelesaikan karya seninya seorang diri. Nindityo membuktikannya dengan hanya “berjualan” ide kepada para artisannya dan bisa mengusung seluruh idenya tersebut ke sebuah ajang di belahan dunia lain. Bagi Nindityo, yang namanya kerja kreatif penciptaan itu tidak hanya terdapat dalam dunia kesenian. Kerja kreatif terdapat di dalam seluruh dimensi terbentuknya peradaban, kreativitas adalah elemen pokoknya. Nindityo menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan seorang perajin rotan di Desa Gatak, Trangsan, Sukoharjo yang berhasil membuatkannya instalasi konde raksasa dari bahan rotan. Di awal, memang tidak banyak yang bersedia mengerjakan proyek privat ini. Namun, berkat kegigihan Nindityo akhirnya dia menemukan seorang perajin yang bersedia. Dalam perjalanan proses kreatif tersebut, antara Nindityo dan sang perajin terlibat sebuah diskusi yang panjang tentang bagaimana menghasilkan sebuah tampilan seni instalasi yang laik dipertontonkan publik. Seringkali hasil akhir tidak akan pernah semirip desain awalnya. Ini semuanya karena Nindityo membuka ruang pengembangan diri bagi dirinya dan sang perajin dalam sebuah diskusi mendalam yang bernas. “Inti dari kolaborasi adalah ada proses belajar dari seniman dan orang tersebut. Seniman bisa belajar dari orang tersebut dan orang tersebut juga belajar dari sang seniman,” ujarnya menyimpulkan. Selain berkolaborasi dengan perajin karya seninya, Nindityo juga terlibat dalam pergaulan intim dengan 6 keluarga di Arnheim yang menjadi pengara karyanya. 6 keluarga ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari pementasan karena mereka juga diminta untuk melibatkan seluruh keluarganya dan benda-benda yang memiliki arti penting dalam proses kehidupan mereka. Nindityo memilih keluarga-keluarga imigran yang memiliki benda-benda tertentu yang seolah mengingatkan mereka akan tanah air atau masa lalu mereka di kampung halaman. Ada imigran asal Maluku yang membawa selendang pemberian ibunya ketiak ia hendak pergi ke Belanda, sebuah lukisan tentang kota Kabul yang dibawa oleh imigran asal Afghanistan, dan panci yang dibawa oleh imigran tentara KNIL yang menjadi tempat permandian bagi anak-anaknya yang lahir di tanah seberang. Semua benda tersebut merupakan penanda pertalian dengan tanah leluhur mereka yang tetap menyimpan romantisme tersendiri. Proses kerja kolaborasi harus bisa memberikan nilai tambah tertentu bagi seniman maupun pihak ketiga yang menjadi kompatriot. Bagi Nindityo, kedua kesempatan proses kreatifnya ini mengindikasikan sebuah kerja kolaborasi antara dirinya, 10 ibu-ibu rumah tangga di Tamshui, para keluarga yang menjadi pengarak karyanya di Arnheim, istrinya yang menemaninya berkarya, hingga ke perajin yang mewujudkan seluruh ide gilanya. “Harus ada sebuah pertumbuhan kapasitas di antara kedua belah pihak, jika tidak semuanya hanya akan menjadi karya kolektif,” tuturnya sembari mengibaratkan sebuah proses pembuatan film yang cenderung berporos pada keinginan sang sutradara. JRU yang diwakili kehadirannya oleh Koordinator Relawan JRU, iLik sAs dan relawan dhimas eLKa ini merasa ada sebuah horizon pemahaman baru tentang kebudayaan yang semakin meluas. “JRU berterima kasih kepada Mas Nindit dan Mas Tubagus yang sudah berkenan mengundang kami,” ujar iLik sAs dalam rehat santai dengan tuan rumah dan pengisi acara. Bagi JRU, ini adalah sebuah pertambahan jejaring sekaligus pengalaman yang nantinya dapat diaplikasikan untuk memperluas ranah pengabdian komunitas ini. Terima kasih Mas Tubagus P. Svarajati, terima kasih Mas Nindityo Adipurnomo, semoga kita bisa terus bersilaturahmi dalam nuansa kolaboratif!
Bagi dunia seni Indonesia, nama Nindityo Adipurnomo mungkin saja bukan orang asing. Apalagi di ranah seni visual yang melibatkan secara intensif namanya sejak puluhan tahun lalu. Pemilik Cemeti Art House Jogjakarta ini pada Selasa (23/9) yang lalu diundang oleh Tubagus P. Svarajati, pemilik Rumah Seni Yaitu untuk berbagi pengalaman dirinya yang melanglang ke Tamshui, Taiwan dan Arnheim, Belanda untuk mengeksplorasi kreativitas seni visual yang peruntukan konsumsinya adalah masyarakat di luar akar budaya Indonesia yang menjadi kebangsaannya. Diskusi yang berlangsung santai namun bernas tersebut dihelat di tengah riuhnya malam “selikuran” di bulan Ramadhan yang bagi kebanyakan orang adalah masa terakhir menuai manisnya bulan Ramadhan. Pegiat seni visual Semarang dengan teman-teman mahasiswa yang menjadi pemerhati seni memaknainya dengan berasyik-masyuk menyimak cerita dari sang tamu yang menyempatkan diri datang dari Jogjakarta di tengah kesibukannya yang pada merayap. Suasana Rumah Seni Yaitu yang berada di bilangan Kampung Jambe tersebut menjadi hidup dengan diskusi mengenai seni kolaborasi yang sedang diusung oleh Nindityo ke ranah publik. Nindityo membuka diskusi malam itu dengan sebuah makalah berjudul “Kolaborasi Interdisipliner dalam Kerja Kesenian”. Makalah ini diorasikan di depan puluhan pengunjung yang menjejali tikar sembari lesehan ditemani air mineral dan gorengan. Nindityo dengan gaya seorang penutur menceritakan prolognya tentang kerja kolaborasi seni yang membawanya bisa mewujudkan sebuah proses kreatif di dua masa residensi seninya di tahun 2007-2008 ini. Di tahun 2007, Nindityo selama sebulan mendapat kesempatan mengeksplorasi kreativitas di sebuah kota di Prefektur Taipei, Taiwan bernama Tamshui. Kota yang relatif sedang ini tengah bertumbuh menjadi sebuah kota industri budaya yang juga masih harus bertekuk di hadapan hempasan komersialisasi dan kapitalisasi. Oleh perangkat kota tersebut, Nindityo dipersilakan untuk membuat pergelaran seni di sebuah rumah tua yang setelah pergelarannya akan dihancurkan untuk menjadi bangunan mal. Suami dari Mella Jaarsma ini kemudian menceritakan proses kreatifnya yang menghasilkan sebuah karya instalasi yang bertajuk “The Glass Cages and Stolen Space”. Pergelaran ini digali dari sebuah “insight” yang dilakukan Nindityo terhadap 10 orang ibu rumah tangga asal Asia Tenggara yang bersuamikan pria asli Taiwan. Mereka kebanyakan tinggal dan beraktivitas domestik di tumpukan bangunan apartemen yang tak ubahnya sebuah “sangkar kaca”. Nindityo—dengan keterbatasan vokabulari Mandarinnya—mengeksplorasi momen paling membahagiakan dalam kehidupan ibu-ibu tersebut. Hasilnya adalah sebuah perpaduan karya seni yang ingin menceritakan kepada dunia bahwa eksistensi mereka di rumah adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah rekaman hidup. Momentum kebahagiaan yang umumnya adalah momen pernikahan dan kelahiran anak pertama dikolase menjadi sebuah perpaduan seni instalasi berlatarkan mozaik reproduksi foto-foto momentum kebahagiaan mereka dan rekaman wawancara Nindityo dengan mereka. Hasilnya, sebuah impresi luar biasa yang mampu mengembangkan senyum simpul di setiap ibu-ibu yang diwawancarai. Pergelaran dikunjungi oleh banyak tetamu yang terkesan dengan bentuk-bentuk instalasi Nindityo yang seakan-akan membawa inspirasi baru bagi motif seni baru di Taiwan. Usai berujar tentang pengalamannya di Tamshui, Nindityo kemudian meneruskan ceritanya dengan pengalamannya bersama istrinya. Mella Jaarsma yang menjadi salah satu peserta International Sclupture Exhibition yang dihelat di Arnheim, Belanda. Di negeri kincir angin tersebut, Nindityo membawa instalasi yang menggambarkan 9 lubang hawa nafsu manusia mulai dari dua kelopak mata hingga anus. Penggambarannya dilakukan dengan berbagai bentuk yang mencerminkan kolaborasi antara Nindityo dengan artisannya yang tersebar di penjuru Jogjakarta hingga ke Sukoharjo. Nindityo ingin menjelaskan jika fenomena seni kontemporer mengajak kita untuk berpikir lebih kreatif dan melibatkan lebih banyak sumberdaya untuk mewujudkan karya seni. Sudah bukan zamannya lagi seorang pekerja seni menyelesaikan karya seninya seorang diri. Nindityo membuktikannya dengan hanya “berjualan” ide kepada para artisannya dan bisa mengusung seluruh idenya tersebut ke sebuah ajang di belahan dunia lain. Bagi Nindityo, yang namanya kerja kreatif penciptaan itu tidak hanya terdapat dalam dunia kesenian. Kerja kreatif terdapat di dalam seluruh dimensi terbentuknya peradaban, kreativitas adalah elemen pokoknya. Nindityo menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan seorang perajin rotan di Desa Gatak, Trangsan, Sukoharjo yang berhasil membuatkannya instalasi konde raksasa dari bahan rotan. Di awal, memang tidak banyak yang bersedia mengerjakan proyek privat ini. Namun, berkat kegigihan Nindityo akhirnya dia menemukan seorang perajin yang bersedia. Dalam perjalanan proses kreatif tersebut, antara Nindityo dan sang perajin terlibat sebuah diskusi yang panjang tentang bagaimana menghasilkan sebuah tampilan seni instalasi yang laik dipertontonkan publik. Seringkali hasil akhir tidak akan pernah semirip desain awalnya. Ini semuanya karena Nindityo membuka ruang pengembangan diri bagi dirinya dan sang perajin dalam sebuah diskusi mendalam yang bernas. “Inti dari kolaborasi adalah ada proses belajar dari seniman dan orang tersebut. Seniman bisa belajar dari orang tersebut dan orang tersebut juga belajar dari sang seniman,” ujarnya menyimpulkan. Selain berkolaborasi dengan perajin karya seninya, Nindityo juga terlibat dalam pergaulan intim dengan 6 keluarga di Arnheim yang menjadi pengara karyanya. 6 keluarga ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari pementasan karena mereka juga diminta untuk melibatkan seluruh keluarganya dan benda-benda yang memiliki arti penting dalam proses kehidupan mereka. Nindityo memilih keluarga-keluarga imigran yang memiliki benda-benda tertentu yang seolah mengingatkan mereka akan tanah air atau masa lalu mereka di kampung halaman. Ada imigran asal Maluku yang membawa selendang pemberian ibunya ketiak ia hendak pergi ke Belanda, sebuah lukisan tentang kota Kabul yang dibawa oleh imigran asal Afghanistan, dan panci yang dibawa oleh imigran tentara KNIL yang menjadi tempat permandian bagi anak-anaknya yang lahir di tanah seberang. Semua benda tersebut merupakan penanda pertalian dengan tanah leluhur mereka yang tetap menyimpan romantisme tersendiri. Proses kerja kolaborasi harus bisa memberikan nilai tambah tertentu bagi seniman maupun pihak ketiga yang menjadi kompatriot. Bagi Nindityo, kedua kesempatan proses kreatifnya ini mengindikasikan sebuah kerja kolaborasi antara dirinya, 10 ibu-ibu rumah tangga di Tamshui, para keluarga yang menjadi pengarak karyanya di Arnheim, istrinya yang menemaninya berkarya, hingga ke perajin yang mewujudkan seluruh ide gilanya. “Harus ada sebuah pertumbuhan kapasitas di antara kedua belah pihak, jika tidak semuanya hanya akan menjadi karya kolektif,” tuturnya sembari mengibaratkan sebuah proses pembuatan film yang cenderung berporos pada keinginan sang sutradara. JRU yang diwakili kehadirannya oleh Koordinator Relawan JRU, iLik sAs dan relawan dhimas eLKa ini merasa ada sebuah horizon pemahaman baru tentang kebudayaan yang semakin meluas. “JRU berterima kasih kepada Mas Nindit dan Mas Tubagus yang sudah berkenan mengundang kami,” ujar iLik sAs dalam rehat santai dengan tuan rumah dan pengisi acara. Bagi JRU, ini adalah sebuah pertambahan jejaring sekaligus pengalaman yang nantinya dapat diaplikasikan untuk memperluas ranah pengabdian komunitas ini. Terima kasih Mas Tubagus P. Svarajati, terima kasih Mas Nindityo Adipurnomo, semoga kita bisa terus bersilaturahmi dalam nuansa kolaboratif!