Srengenge Kembar
Dalam perspektif Jawa, ketidakharmonisan itulah yang akan menimbulkan bencana, musibah, pagebluk, dan kejadian-kejadian lain yang merusak harkat hidup manusia. Manusia kehilangan kemanusiaannya (manungsa kelangan kamanungsane), tidak berpikir positif, apalagi berperasaan positif.
CARA berpikir orang Jawa berbeda dari cara berpikir orang Barat, karena perbedaan filsafat hidup yang mendasarinya. Filsafat Jawa, seperti filsafat peradaban Timur lainnya, berintikan ketajaman perasaan (rasa), bersifat deskriptif dan simbolik, berbicara mengenai pencapaian kebijaksanaan (wisdom).
Filsafat Barat memakai pendekatan intelektual, menggunakan pikiran (ratio), bersifat teoretik-abstraktif, definisi-definisi. Karena itu, filsafat Barat menghasilkan ilmu pengetahuan.
Cara berpikir yang berbeda itu kemudian menyebabkan perbedaan pula dalam melihat alam semesta. Manusia Jawa memandang alam semesta adalah bagian dari dirinya, dan dirinya bagian dari alam semesta. Keharmonisan relasi antara keduanya menjadi tujuan utama. Manusia Barat lebih melihat dirinya sebagai individu yang bebas dari kekuatan-kekuatan alam semesta. Kekuatan pikiran (ratio) menjadi alat utama.
Pemahaman kosmis manusia Jawa, menganggap alam semesta sebagai wajah dirinya, lukisan perjalanan hidupnya. Manusia Jawa mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya, berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap kalau mampu menegosiasi kekuatan itu, hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, kalau tidak mampu, akan celaka.
Manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos - jagad gedhe) dengan dirinya (mikrokosmos ñ jagad cilik).
Alam semesta berada dalam dirinya, dirinya adalah gambaran alam semesta. Keharmonisan antara jagad gedhe dan jagad cilik akan menyebabkan ketenteraman hidup. (Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 2003:49).
Bagi manusia Jawa, masyarakat, alam, dan alam adikodrati dirasakan sebagai kesatuan terungkap dalam kepercayaan bahwa semua peristiwa alam empiris berkaitan dengan peristiwa di alam metempiris (alam gaib).
Masyarakat dan alam di satu pihak berhubungan dengan alam adikodrati di lain pihak. Sesuatu yang terjadi di realitas yang satu mempunyai kecocokan di realitas yang lain. (Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, 1988:90).
***
SAYA yakin, banyak orang yang melihat fenomena alam yang terjadi Kamis Pahing, 27 September 2007, dari cara berpikir Jawa. Fenomena alam yang secara ilmiah disebut sebagai fenomena Halo itu, oleh sebagian masyarakat pasti ditafsirkan sebagai tanda-tanda tentang sesuatu yang akan terjadi, karena yang terjadi di alam semesta adalah cerminan diri manusia. Gejala jagad gedhe cerminan jagad cilik, begitu pula sebaliknya.
"Mas, arep ana pagebluk. Dulu beberapa hari sebelum Yogya kena gempa juga ada tanda seperti itu lho," kata seorang teman ketika siang itu melihat matahari dikelilingi pelangi.
"Mas, sampeyan melihat kan, sebelum muncul pelangi itu terlihat ada matahari lain yang bersinar, tapi ukurannya lebih kecil dari matahari. Itu kan srengenge kembar. Jangan-jangan, itu tanda munculnya perpecahan dalam kepemimpinan,"kata teman yang lain.
"Kalau saya berpikir positif sajalah, srengenge kembar atau matahari yang dikelilingi pelangi itu mungkin tanda akan turunnya lailatulkadar, ini kan bulan Ramadan," kata teman yang lain lagi.
Fenomena Halo, menurut sudut pandang ilmiah, merupakan fenomena alam biasa. Tidak ada kaitannya dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi dan tsunami. Fenomena srengenge kembar (matahari kembar) seperti itu pernah terlihat di Jawa tahun 1846 dan 1904.
***
BERPIKIR positif memang baik, tapi berperasaan positif ternyata lebih berguna. Setidaknya itulah yang dikampanyekan oleh Erbe Sentanu melalui bukunya Quantum Ikhlas. Katanya, kekuataan perasaan 5.000 kali kekuatan pikiran.
Nah, berarti cara berpikir manusia Jawa yang lebih mengutamakan rasa,bukan pikiran,tidak keliru! Termasuk melihat fenomena srengenge kembar sebagai cerminan keadaan manusia, sebagai relasi antara jagad gedhe dan jagad cilik. Selalu ada kaitan antara makrokosmos dan mikrokosmos, seperti gejala pemanasan global yang akhir-akhir ini sering dibicarakan.
Bukankah pemanasan global pun diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak lagi bersahabat dengan alam? Jangan-jangan srengenge kembar juga akibat ulah manusia, cerminan ketidakharmonisan jagad cilik dan jagad gedhe.
Dalam perspektif Jawa, ketidakharmonisan itulah yang akan menimbulkan bencana, musibah, pagebluk, dan kejadian-kejadian lain yang merusak harkat hidup manusia. Manusia kehilangan kemanusiaannya (manungsa kelangan kamanungsane), tidak berpikir positif, apalagi berperasaan positif.
Nampaknya, manusia memang harus meningkatkan kearifannya menghadapi fenomena alam. Selain menangkapnya dengan kekuatan pikiran, perlu juga merenungkannya dengan rasa. Inilah sikap rendah hati untuk introspeksi, mawas diri.
Saya ingat petuah leluhur, bahwa manusia yang kehilangan perasaan adalah lempung-lempung kepanjingan nyawa (tanah liat yang kemasukan nyawa).
Fenomena srengenge kembar boleh jadi hanyalah fenomena alam biasa, tapi bisa saja tanda-tanda dari Yang Maha Kuasa. (11)
Adi Ekopriyono
Pemerhati Kemanusiaan, tinggal dan berkarya di Semarang.
CARA berpikir orang Jawa berbeda dari cara berpikir orang Barat, karena perbedaan filsafat hidup yang mendasarinya. Filsafat Jawa, seperti filsafat peradaban Timur lainnya, berintikan ketajaman perasaan (rasa), bersifat deskriptif dan simbolik, berbicara mengenai pencapaian kebijaksanaan (wisdom).
Filsafat Barat memakai pendekatan intelektual, menggunakan pikiran (ratio), bersifat teoretik-abstraktif, definisi-definisi. Karena itu, filsafat Barat menghasilkan ilmu pengetahuan.
Cara berpikir yang berbeda itu kemudian menyebabkan perbedaan pula dalam melihat alam semesta. Manusia Jawa memandang alam semesta adalah bagian dari dirinya, dan dirinya bagian dari alam semesta. Keharmonisan relasi antara keduanya menjadi tujuan utama. Manusia Barat lebih melihat dirinya sebagai individu yang bebas dari kekuatan-kekuatan alam semesta. Kekuatan pikiran (ratio) menjadi alat utama.
Pemahaman kosmis manusia Jawa, menganggap alam semesta sebagai wajah dirinya, lukisan perjalanan hidupnya. Manusia Jawa mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya, berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap kalau mampu menegosiasi kekuatan itu, hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, kalau tidak mampu, akan celaka.
Manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos - jagad gedhe) dengan dirinya (mikrokosmos ñ jagad cilik).
Alam semesta berada dalam dirinya, dirinya adalah gambaran alam semesta. Keharmonisan antara jagad gedhe dan jagad cilik akan menyebabkan ketenteraman hidup. (Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, 2003:49).
Bagi manusia Jawa, masyarakat, alam, dan alam adikodrati dirasakan sebagai kesatuan terungkap dalam kepercayaan bahwa semua peristiwa alam empiris berkaitan dengan peristiwa di alam metempiris (alam gaib).
Masyarakat dan alam di satu pihak berhubungan dengan alam adikodrati di lain pihak. Sesuatu yang terjadi di realitas yang satu mempunyai kecocokan di realitas yang lain. (Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, 1988:90).
***
SAYA yakin, banyak orang yang melihat fenomena alam yang terjadi Kamis Pahing, 27 September 2007, dari cara berpikir Jawa. Fenomena alam yang secara ilmiah disebut sebagai fenomena Halo itu, oleh sebagian masyarakat pasti ditafsirkan sebagai tanda-tanda tentang sesuatu yang akan terjadi, karena yang terjadi di alam semesta adalah cerminan diri manusia. Gejala jagad gedhe cerminan jagad cilik, begitu pula sebaliknya.
"Mas, arep ana pagebluk. Dulu beberapa hari sebelum Yogya kena gempa juga ada tanda seperti itu lho," kata seorang teman ketika siang itu melihat matahari dikelilingi pelangi.
"Mas, sampeyan melihat kan, sebelum muncul pelangi itu terlihat ada matahari lain yang bersinar, tapi ukurannya lebih kecil dari matahari. Itu kan srengenge kembar. Jangan-jangan, itu tanda munculnya perpecahan dalam kepemimpinan,"kata teman yang lain.
"Kalau saya berpikir positif sajalah, srengenge kembar atau matahari yang dikelilingi pelangi itu mungkin tanda akan turunnya lailatulkadar, ini kan bulan Ramadan," kata teman yang lain lagi.
Fenomena Halo, menurut sudut pandang ilmiah, merupakan fenomena alam biasa. Tidak ada kaitannya dengan kejadian-kejadian bencana, seperti gempa bumi dan tsunami. Fenomena srengenge kembar (matahari kembar) seperti itu pernah terlihat di Jawa tahun 1846 dan 1904.
***
BERPIKIR positif memang baik, tapi berperasaan positif ternyata lebih berguna. Setidaknya itulah yang dikampanyekan oleh Erbe Sentanu melalui bukunya Quantum Ikhlas. Katanya, kekuataan perasaan 5.000 kali kekuatan pikiran.
Nah, berarti cara berpikir manusia Jawa yang lebih mengutamakan rasa,bukan pikiran,tidak keliru! Termasuk melihat fenomena srengenge kembar sebagai cerminan keadaan manusia, sebagai relasi antara jagad gedhe dan jagad cilik. Selalu ada kaitan antara makrokosmos dan mikrokosmos, seperti gejala pemanasan global yang akhir-akhir ini sering dibicarakan.
Bukankah pemanasan global pun diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak lagi bersahabat dengan alam? Jangan-jangan srengenge kembar juga akibat ulah manusia, cerminan ketidakharmonisan jagad cilik dan jagad gedhe.
Dalam perspektif Jawa, ketidakharmonisan itulah yang akan menimbulkan bencana, musibah, pagebluk, dan kejadian-kejadian lain yang merusak harkat hidup manusia. Manusia kehilangan kemanusiaannya (manungsa kelangan kamanungsane), tidak berpikir positif, apalagi berperasaan positif.
Nampaknya, manusia memang harus meningkatkan kearifannya menghadapi fenomena alam. Selain menangkapnya dengan kekuatan pikiran, perlu juga merenungkannya dengan rasa. Inilah sikap rendah hati untuk introspeksi, mawas diri.
Saya ingat petuah leluhur, bahwa manusia yang kehilangan perasaan adalah lempung-lempung kepanjingan nyawa (tanah liat yang kemasukan nyawa).
Fenomena srengenge kembar boleh jadi hanyalah fenomena alam biasa, tapi bisa saja tanda-tanda dari Yang Maha Kuasa. (11)
Adi Ekopriyono
Pemerhati Kemanusiaan, tinggal dan berkarya di Semarang.