Internalisasi
Internalisasi sangat jarang kita lakukan, sehingga kita tidak lagi mengenal dan memahami spirit dan nilai-nilai lokal yang sesungguhnya dahsyat kalau dikembangkan untuk menghadapi persaingan global sekarang ini. Jadi, ya tidak perlu heran kalau ada arca di museum dijual dan diganti dengan arca palsu. Ada slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul event dan tidak berkelanjutan.
OPEN your mind, and look at the great world outside. Buka pikiranmu, pandanglah dunia luas di luar.
Kalimat itu mengawali brosur Sakichi Toyoda Memorial House, di Kota Kosai, Jepang. Sebuah museum, peninggalan tokoh besar dunia industri Jepang, Sakichi Toyoda, yang dilahirkan di kota itu. Salah seorang anaknya, Kiichiro Toyoda, adalah perintis industri otomotif raksasa, Toyota Motor Corporation.
Di museum itu terdapat mesin-mesin tenun temuan tahun 1890 sampai 1924. Itulah bisnis Sakichi pada awalnya, yang kemudian dikembangkan oleh Kiichiro menjadi industri otomotif. Dari temuan-temuan mesin tenun otomatis ke pengembangan industri otomotif.
Museum itu dibangun bukan sekadar untuk mengenang, melainkan menanamkan spirit penemuan-penemuan (the spirit of invention) kepada publik. ''Selamat datang dan selamat merasakan atmosfir yang menginspirasi Sakichi Toyoda mengembangkan dan merealisasikan ambisi dan tekad,'' kata pemandu, yang mengajak saya mengelilingi kompleks tersebut.
Di ruang tamu kantor wali kota Kosai, foto Sakichi Toyoda juga terpampang megah. Menurut beberapa orang yang saya temui di sana, foto itu juga dipasang di kantor-kantor pemerintahan yang lain. Bagi orang Jepang, Sakichi Toyoda adalah spirit untuk mengembangkan bangsanya lebih maju dan lebih maju lagi.
Di museum yang lain, di Osaka, anak-anak sekolah dasar dengan tekun menggambar lukisan-lukisan kuno dan mencontoh tulisan-tulisan dalam huruf kanji. Mereka sedang berusaha untuk memahami lukisan-lukisan itu, merasakan spirit yang ada di baliknya, dan mencoba untuk meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
***
ITULAH internalisasi. Proses transformasi spirit, nilai-nilai ke dalam hati seseorang. Spirit kewirausahaan, nilai-nilai budaya asli (local genius) bukan lagi milik Sakichi Toyoda, melainkan milik masyarakat. Maka, wajar kalau Jepang sekarang menjadi negara maju yang sejajar, atau bahkan leading, dibandingkan negara-negara industri lain.
Jepang hanyalah salah satu contoh dari proses internalisasi nilai-nilai dan semangat juang. Banyak bangsa yang lain juga berhasil menginternalisasikan spirit dan nilai-nilai budaya lokal mereka, sehingga menjadi semacam gerakan sosial yang hebat. Istilah lain yang mirip adalah rekayasa sosial (social engineering), sehingga spirit dan nilai-nilai itu tidak mandek pada retorika, melainkan teraplikasi dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
Internalisasi kemudian melahirkan kebanggaan nasional (national pride). Itulah salah satu yang mendorong orang Jepang bangga mengatakan ''Saya orang Jepang'', begitu pula orang Amerika bangga dengan keamerikaannya, orang Singapura bangga sebagai orang Singapura, dan orang Malaysia bangga dengan kemalaysiaannya.
Jadi, internalisasi spirit dan nilai-nilai itu penting. Maka dulu Bung Karno pun selalu menggelorakan semangat ''jasmerah'', jangan sekali-kali melupakan sejarah. Maknanya adalah, sebagai suatu bangsa kita jangan melupakan spirit dan nilai-nilai yang ada di balik peristiwa-peristiwa bersejarah. Termasuk di dalam konteks kesejarahan ini adalah nilai-nilai budaya lokal, yang oleh orang-orang Jepang diusahakan kelestariannya, sampai-sampai orang asing bingung kalau berkunjung ke sana karena sebagian besar huruf yang dipakai adalah kanji, bahasa yang digunakan bahasa Jepang. Sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris.
***
JEPANG adalah contoh bangsa yang berhasil mengembangkan negaranya berbasis kearifan lokal. Dalam konteks Jawa, mereka berhasil memadukan antara rasa dan rasio; hati dan otak; intention dan attention, serta krenteg dan karep. Krenteg itu dari hati, rasa, dan intention; rasio, otak, dan attention itu pikiran. Sinergi antara keduanya menghasilkan karya-karya nyata, seperti karya Sakichi dan Kiichiro Toyoda.
Bagaimana dengan bangsa kita? Maaf, kita lebih sering berhenti pada retorika, wacana; berhenti pada rasa, mandek di krenteg. Internalisasi menjadi barang langka, sehingga spirit dan nilai-nilai hanya menjadi hiasan yang tidak berwujud, atau menjadi romantisme yang hanya dibicarakan di seminar-seminar.
Itulah sebabnya visi, misi, dan nilai-nilai sebuah wilayah misalnya, alih-alih dipahami dan diresapi, dikenal pun tidak oleh masyarakatnya. Coba, pembaca yang budiman, apakah Anda tahu visi, misi, dan nilai-nilai yang dibangun oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota tempat Anda tinggal?
Internalisasi sangat jarang kita lakukan, sehingga kita tidak lagi mengenal dan memahami spirit dan nilai-nilai lokal yang sesungguhnya dahsyat kalau dikembangkan untuk menghadapi persaingan global sekarang ini. Jadi, ya tidak perlu heran kalau ada arca di museum dijual dan diganti dengan arca palsu. Ada slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul event dan tidak berkelanjutan.
Saya kira, kita juga tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa tokoh yang bisa kita jadikan ikon seperti Toyoda bagi masyarakat Jepang.(62)
- Adi Ekopriyono -
OPEN your mind, and look at the great world outside. Buka pikiranmu, pandanglah dunia luas di luar.
Kalimat itu mengawali brosur Sakichi Toyoda Memorial House, di Kota Kosai, Jepang. Sebuah museum, peninggalan tokoh besar dunia industri Jepang, Sakichi Toyoda, yang dilahirkan di kota itu. Salah seorang anaknya, Kiichiro Toyoda, adalah perintis industri otomotif raksasa, Toyota Motor Corporation.
Di museum itu terdapat mesin-mesin tenun temuan tahun 1890 sampai 1924. Itulah bisnis Sakichi pada awalnya, yang kemudian dikembangkan oleh Kiichiro menjadi industri otomotif. Dari temuan-temuan mesin tenun otomatis ke pengembangan industri otomotif.
Museum itu dibangun bukan sekadar untuk mengenang, melainkan menanamkan spirit penemuan-penemuan (the spirit of invention) kepada publik. ''Selamat datang dan selamat merasakan atmosfir yang menginspirasi Sakichi Toyoda mengembangkan dan merealisasikan ambisi dan tekad,'' kata pemandu, yang mengajak saya mengelilingi kompleks tersebut.
Di ruang tamu kantor wali kota Kosai, foto Sakichi Toyoda juga terpampang megah. Menurut beberapa orang yang saya temui di sana, foto itu juga dipasang di kantor-kantor pemerintahan yang lain. Bagi orang Jepang, Sakichi Toyoda adalah spirit untuk mengembangkan bangsanya lebih maju dan lebih maju lagi.
Di museum yang lain, di Osaka, anak-anak sekolah dasar dengan tekun menggambar lukisan-lukisan kuno dan mencontoh tulisan-tulisan dalam huruf kanji. Mereka sedang berusaha untuk memahami lukisan-lukisan itu, merasakan spirit yang ada di baliknya, dan mencoba untuk meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
***
ITULAH internalisasi. Proses transformasi spirit, nilai-nilai ke dalam hati seseorang. Spirit kewirausahaan, nilai-nilai budaya asli (local genius) bukan lagi milik Sakichi Toyoda, melainkan milik masyarakat. Maka, wajar kalau Jepang sekarang menjadi negara maju yang sejajar, atau bahkan leading, dibandingkan negara-negara industri lain.
Jepang hanyalah salah satu contoh dari proses internalisasi nilai-nilai dan semangat juang. Banyak bangsa yang lain juga berhasil menginternalisasikan spirit dan nilai-nilai budaya lokal mereka, sehingga menjadi semacam gerakan sosial yang hebat. Istilah lain yang mirip adalah rekayasa sosial (social engineering), sehingga spirit dan nilai-nilai itu tidak mandek pada retorika, melainkan teraplikasi dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
Internalisasi kemudian melahirkan kebanggaan nasional (national pride). Itulah salah satu yang mendorong orang Jepang bangga mengatakan ''Saya orang Jepang'', begitu pula orang Amerika bangga dengan keamerikaannya, orang Singapura bangga sebagai orang Singapura, dan orang Malaysia bangga dengan kemalaysiaannya.
Jadi, internalisasi spirit dan nilai-nilai itu penting. Maka dulu Bung Karno pun selalu menggelorakan semangat ''jasmerah'', jangan sekali-kali melupakan sejarah. Maknanya adalah, sebagai suatu bangsa kita jangan melupakan spirit dan nilai-nilai yang ada di balik peristiwa-peristiwa bersejarah. Termasuk di dalam konteks kesejarahan ini adalah nilai-nilai budaya lokal, yang oleh orang-orang Jepang diusahakan kelestariannya, sampai-sampai orang asing bingung kalau berkunjung ke sana karena sebagian besar huruf yang dipakai adalah kanji, bahasa yang digunakan bahasa Jepang. Sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris.
***
JEPANG adalah contoh bangsa yang berhasil mengembangkan negaranya berbasis kearifan lokal. Dalam konteks Jawa, mereka berhasil memadukan antara rasa dan rasio; hati dan otak; intention dan attention, serta krenteg dan karep. Krenteg itu dari hati, rasa, dan intention; rasio, otak, dan attention itu pikiran. Sinergi antara keduanya menghasilkan karya-karya nyata, seperti karya Sakichi dan Kiichiro Toyoda.
Bagaimana dengan bangsa kita? Maaf, kita lebih sering berhenti pada retorika, wacana; berhenti pada rasa, mandek di krenteg. Internalisasi menjadi barang langka, sehingga spirit dan nilai-nilai hanya menjadi hiasan yang tidak berwujud, atau menjadi romantisme yang hanya dibicarakan di seminar-seminar.
Itulah sebabnya visi, misi, dan nilai-nilai sebuah wilayah misalnya, alih-alih dipahami dan diresapi, dikenal pun tidak oleh masyarakatnya. Coba, pembaca yang budiman, apakah Anda tahu visi, misi, dan nilai-nilai yang dibangun oleh pemerintah provinsi atau kabupaten/kota tempat Anda tinggal?
Internalisasi sangat jarang kita lakukan, sehingga kita tidak lagi mengenal dan memahami spirit dan nilai-nilai lokal yang sesungguhnya dahsyat kalau dikembangkan untuk menghadapi persaingan global sekarang ini. Jadi, ya tidak perlu heran kalau ada arca di museum dijual dan diganti dengan arca palsu. Ada slogan-slogan kota hanya berhenti sebagai judul event dan tidak berkelanjutan.
Saya kira, kita juga tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa tokoh yang bisa kita jadikan ikon seperti Toyoda bagi masyarakat Jepang.(62)
- Adi Ekopriyono -