Ikhlas, Kunci Kebahagiaan
Manusia sering memasukkan hitungan untung-rugi dalam relasi dengan sesamanya, bahkan dengan Tuhan. Akibatnya, Tuhan (mungkin) menerapkan hitungan untung-rugi kepada manusia. Nah, terhadap manusia yang ikhlas berderma, Tuhan tidak akan berhitung untung-rugi. Maka, wajar kalau makin banyak berderma, makin banyak pula rezeki yang diterima.
DALAM suatu workshop di Jakarta, saya bertemu sesama alumnus Komunikasi FISIP Undip. Namanya Legiman. Penampilannya sederhana, sangat kontras dari prestasi gemilang yang diraihnya. Dalam waktu hanya tiga tahun ia berhasil membangun "kerajaan bisnis" dengan omset miliaran rupiah. Dari semula reporter TV dan penjual jasa kliping koran, kini ia menjadi pemilik beberapa perusahaan, di antaranya tabloid khusus telepon genggam dengan tiras 500.000 eksemplar dan distributor handphone.
"Kunci sukses itu ada dua: zakat dan berbakti pada orang tua. Kekuatan zakat sangat dahsyat. Tuhan memberi balasan luar biasa kalau kita melaksanakan zakat dan selalu berbakti pada orang tua. Kalau mau zakat, jangan menunggu sukses dulu. Berapa pun yang kita peroleh, mulailah berzakat," katanya.
Zakat adalah salah satu Rukun Islam, namun di agama-agama lain pasti juga ada ajaran kedermawanan seperti itu. Agama Kristen misalnya, mengenal istilah "perpuluhan." Intinya sama, menyisihkan penghasilan yang kita terima untuk kepentingan sesama. Ada hak orang lain dalam penghasilan itu, sehingga harus kita kembalikan lagi kepada orang lain.
***
Zakat, "perpuluhan", atau apa pun namanya, adalah potensi terpendam. Seandainya semua umat beragama melaksanakannya, akan terkumpul dana sangat banyak. Dana itu dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi berbagai masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, dan masalah lain, yang dalam konteks Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia memang terpuruk.
Seperti disebutkan dalam Laporan "A Future Within Reach," maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik 2006, Indonesia berada di posisi terendah setingkat dengan Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina. Indonesia dinilai mundur dalam garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbondioksida (CO2), air bersih di perkotaan, dan sanitasi di pedesaan.
Secara nasional, potensi zakat sangat besar. Survei terakhir Ford Foundation bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, zakat, infak, dan sedekah, belum termasuk wakaf, sebesar Rp 19,3 triliun per tahun (seperti dibahas dalam Gerakan Budaya Zakat belum lama ini). Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) bahkan menyebut angka Rp 20 triliun untuk potensi zakat profesi.
Itu baru zakat. Belum lagi potensi terpendam yang dapat digali dari gerakan kedermawanan sesuai dengan ajaran agama yang lain; Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu.
***
Ada filosofi yang sama dalam zakat dan berbakti pada orang tua. Filosofi itu bernama: keikhlasan. Keduanya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa rasa ikhlas. Sayang sekali, keikhlasan menjadi barang langka, karena hidup sudah menjelma menjadi persoalan untung-rugi.
Peran agama? Ternyata belum optimal menumbuhkan keikhlasan. Agama kadang justru memupuk rasa ketidakikhlasan dengan doktrin-doktrin "paling benar," "paling baik," "paling sempurna." "paling selamat," dan seterusnya. Disadari atau tidak, doktrin itu tidak mendorong umat untuk berbuat ikhlas, terutama menerima dan membantu orang lain tanpa melihat warna kulit, suku, ras, golongan, dan agama.
Manusia sering memasukkan hitungan untung-rugi dalam relasi dengan sesamanya, bahkan dengan Tuhan. Akibatnya, Tuhan (mungkin) menerapkan hitungan untung-rugi kepada manusia. Nah, terhadap manusia yang ikhlas berderma, Tuhan tidak akan berhitung untung-rugi. Maka, wajar kalau makin banyak berderma, makin banyak pula rezeki yang diterima.
Kalau semua warga negara melaksanakan kewajiban kedermawanan, yakinlah banyak masalah sosial dapat teratasi. Dana yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk, misalnya, membuka lapangan kerja baru, memberi bantuan modal kepada pengusaha kecil, memberi layanan kesehatan kepada orang-orang tidak mampu, menyediakan beasiswa kepada anak-anak miskin, dan sebagainya.
Potensi itu termasuk modal mati (death capital), yang menurut ekonom Peru, Hernando de Soto, banyak terdapat di sektor nonformal. Modal mati itu harus diubah menjadi modal cair (liquid capital) untuk menggerakkan masyarakat menuju masa depan yang lebih cerah.
Gerakan kedermawanan didasari keikhlasan, bukan tidak mungkin, memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasional yang sesungguhnya.
Adi Ekopriyono
Humanis dan Jurnalis Semarang
DALAM suatu workshop di Jakarta, saya bertemu sesama alumnus Komunikasi FISIP Undip. Namanya Legiman. Penampilannya sederhana, sangat kontras dari prestasi gemilang yang diraihnya. Dalam waktu hanya tiga tahun ia berhasil membangun "kerajaan bisnis" dengan omset miliaran rupiah. Dari semula reporter TV dan penjual jasa kliping koran, kini ia menjadi pemilik beberapa perusahaan, di antaranya tabloid khusus telepon genggam dengan tiras 500.000 eksemplar dan distributor handphone.
"Kunci sukses itu ada dua: zakat dan berbakti pada orang tua. Kekuatan zakat sangat dahsyat. Tuhan memberi balasan luar biasa kalau kita melaksanakan zakat dan selalu berbakti pada orang tua. Kalau mau zakat, jangan menunggu sukses dulu. Berapa pun yang kita peroleh, mulailah berzakat," katanya.
Zakat adalah salah satu Rukun Islam, namun di agama-agama lain pasti juga ada ajaran kedermawanan seperti itu. Agama Kristen misalnya, mengenal istilah "perpuluhan." Intinya sama, menyisihkan penghasilan yang kita terima untuk kepentingan sesama. Ada hak orang lain dalam penghasilan itu, sehingga harus kita kembalikan lagi kepada orang lain.
***
Zakat, "perpuluhan", atau apa pun namanya, adalah potensi terpendam. Seandainya semua umat beragama melaksanakannya, akan terkumpul dana sangat banyak. Dana itu dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi berbagai masalah, seperti kemiskinan, pengangguran, dan masalah lain, yang dalam konteks Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia memang terpuruk.
Seperti disebutkan dalam Laporan "A Future Within Reach," maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik 2006, Indonesia berada di posisi terendah setingkat dengan Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina. Indonesia dinilai mundur dalam garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbondioksida (CO2), air bersih di perkotaan, dan sanitasi di pedesaan.
Secara nasional, potensi zakat sangat besar. Survei terakhir Ford Foundation bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, zakat, infak, dan sedekah, belum termasuk wakaf, sebesar Rp 19,3 triliun per tahun (seperti dibahas dalam Gerakan Budaya Zakat belum lama ini). Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) bahkan menyebut angka Rp 20 triliun untuk potensi zakat profesi.
Itu baru zakat. Belum lagi potensi terpendam yang dapat digali dari gerakan kedermawanan sesuai dengan ajaran agama yang lain; Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu.
***
Ada filosofi yang sama dalam zakat dan berbakti pada orang tua. Filosofi itu bernama: keikhlasan. Keduanya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa rasa ikhlas. Sayang sekali, keikhlasan menjadi barang langka, karena hidup sudah menjelma menjadi persoalan untung-rugi.
Peran agama? Ternyata belum optimal menumbuhkan keikhlasan. Agama kadang justru memupuk rasa ketidakikhlasan dengan doktrin-doktrin "paling benar," "paling baik," "paling sempurna." "paling selamat," dan seterusnya. Disadari atau tidak, doktrin itu tidak mendorong umat untuk berbuat ikhlas, terutama menerima dan membantu orang lain tanpa melihat warna kulit, suku, ras, golongan, dan agama.
Manusia sering memasukkan hitungan untung-rugi dalam relasi dengan sesamanya, bahkan dengan Tuhan. Akibatnya, Tuhan (mungkin) menerapkan hitungan untung-rugi kepada manusia. Nah, terhadap manusia yang ikhlas berderma, Tuhan tidak akan berhitung untung-rugi. Maka, wajar kalau makin banyak berderma, makin banyak pula rezeki yang diterima.
Kalau semua warga negara melaksanakan kewajiban kedermawanan, yakinlah banyak masalah sosial dapat teratasi. Dana yang terkumpul dapat dimanfaatkan untuk, misalnya, membuka lapangan kerja baru, memberi bantuan modal kepada pengusaha kecil, memberi layanan kesehatan kepada orang-orang tidak mampu, menyediakan beasiswa kepada anak-anak miskin, dan sebagainya.
Potensi itu termasuk modal mati (death capital), yang menurut ekonom Peru, Hernando de Soto, banyak terdapat di sektor nonformal. Modal mati itu harus diubah menjadi modal cair (liquid capital) untuk menggerakkan masyarakat menuju masa depan yang lebih cerah.
Gerakan kedermawanan didasari keikhlasan, bukan tidak mungkin, memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasional yang sesungguhnya.
Adi Ekopriyono
Humanis dan Jurnalis Semarang