Anak-anak dan Idolanya
Anak-anak harus terpengaruh, harus punya idola. Kata ''harus'' itu bukan anjuran, tapi keniscayaan. Tanpa dilarang dan dianjurkan pun, pengidolaan adalah sebuah takdir. Tapi mati berdesakan cuma untuk menonoton idola adalah takdir yang pahit.
Anak-anak harus terpengaruh, harus punya idola. Kata ''harus'' itu bukan anjuran, tapi keniscayaan. Tanpa dilarang dan dianjurkan pun, pengidolaan adalah sebuah takdir. Tapi mati berdesakan cuma untuk menonoton idola adalah takdir yang pahit.
Walau kata ''cuma'' di atas mestinya memang hanya cocok untuk orang tua. Untuk orang yang telah kebal pengaruh. Orang yang -- dalam bahasa penyair Sutardi Coulzum Bachri-- makan bayam bukan untuk menjadi Popeye, minum susu sapi bukan untuk menjadi sapi. Tapi bagi sebagian anak-anak, bahkan sebagian manusia, kata ''cuma'' itu sungguh tidak berlaku. Menonton idola adalah sebuah kedahsyatan. Sebuah mimpi (kali ye) seperti di SCTV, sebuah fanatisme (Fanatic) seperti di MTV, tempat para fans dipertemukan dengan para idol.
Pengidolaan adalah masa-masa yang berat, gelap dan melelahkan. Ia adalah lubang yang menelan kita semua. Sebagian dari kita berhasil bangkit, lolos dan kabur. Sebagian kita yang lain harus lenyap terkubur. Pengidolaan terjadi karena ada jenis kepribadian yang kuat, menakjubkan, mencengangkan di pihak idola. Ia makin menajam ketika ada kerapuhan di pihak pemuja. Akan lebih fantastis ketika telah mengalami pembesaran media. Tiga hal itu jika bergabung, wajar, jika menghasilkan akibat yang dramatis.
Sesuatu yang biasa bisa menjadi luar biasa di tangan media media. Apalagi jika sesuatu itu memang luar biasa. Ia akan segera menjadi mega-luar biasa, menjadi hiper-realita. Dalam suasana surealistik itulah pengidolaan hidup subur. Suasana tempat manusia diangkat derajatnya menyerupai derajat dewa-dewa. Kamera dari delapan penjuru angin cuma membidik satu sudut saja: tentang manusia yang tampak begitu sempurna. Manusia tempat Tuhan seperti tengah mengumpulkan hampir semua nasib baik cuma pada satu orang saja.
Jangan Anda bayangkan bahwa media itu cuma bernama koran dan televisi. Di zaman lampau media itu bisa bernama dongeng, mitos dan legenda. Televisi boleh belum ditemukan tapi pemujaaan harus tetap dihidupkan. Bahwa kecantikan Cleopatra lebih sempurna dari peri, bahwa betis Ken Dedes menyemburkan cahaya, Jaka Tingkir sanggup memukul kepala kerbau hingga remuk, bahwa ada jenis perampok seperti Robin Hood yang kejahatannya bahkan terlihat indah.
Kita tak peduli apakah cerita itu nyata atau apakah tokoh-tokoh itu benar-benar ada. Yang kita butuhkan adalah bahwa betapa kita butuh keluar dari kenyataan dan hidup di luar kenyataan yang sering tampak indah, gemerlap dan serba sempurna itu. Kecenderungan yang sungguh bisa dimengerti karena di dalam kenyataan, sedikit saja orang yang merasa beruntung dan bernasib baik. Selebihnya, kenyataan dipenuhi oleh orang-orang yang merasa gagal dan putus asa.
Prie GS
Budayawan, tinggal di Semarang.
Anak-anak harus terpengaruh, harus punya idola. Kata ''harus'' itu bukan anjuran, tapi keniscayaan. Tanpa dilarang dan dianjurkan pun, pengidolaan adalah sebuah takdir. Tapi mati berdesakan cuma untuk menonoton idola adalah takdir yang pahit.
Walau kata ''cuma'' di atas mestinya memang hanya cocok untuk orang tua. Untuk orang yang telah kebal pengaruh. Orang yang -- dalam bahasa penyair Sutardi Coulzum Bachri-- makan bayam bukan untuk menjadi Popeye, minum susu sapi bukan untuk menjadi sapi. Tapi bagi sebagian anak-anak, bahkan sebagian manusia, kata ''cuma'' itu sungguh tidak berlaku. Menonton idola adalah sebuah kedahsyatan. Sebuah mimpi (kali ye) seperti di SCTV, sebuah fanatisme (Fanatic) seperti di MTV, tempat para fans dipertemukan dengan para idol.
Pengidolaan adalah masa-masa yang berat, gelap dan melelahkan. Ia adalah lubang yang menelan kita semua. Sebagian dari kita berhasil bangkit, lolos dan kabur. Sebagian kita yang lain harus lenyap terkubur. Pengidolaan terjadi karena ada jenis kepribadian yang kuat, menakjubkan, mencengangkan di pihak idola. Ia makin menajam ketika ada kerapuhan di pihak pemuja. Akan lebih fantastis ketika telah mengalami pembesaran media. Tiga hal itu jika bergabung, wajar, jika menghasilkan akibat yang dramatis.
Sesuatu yang biasa bisa menjadi luar biasa di tangan media media. Apalagi jika sesuatu itu memang luar biasa. Ia akan segera menjadi mega-luar biasa, menjadi hiper-realita. Dalam suasana surealistik itulah pengidolaan hidup subur. Suasana tempat manusia diangkat derajatnya menyerupai derajat dewa-dewa. Kamera dari delapan penjuru angin cuma membidik satu sudut saja: tentang manusia yang tampak begitu sempurna. Manusia tempat Tuhan seperti tengah mengumpulkan hampir semua nasib baik cuma pada satu orang saja.
Jangan Anda bayangkan bahwa media itu cuma bernama koran dan televisi. Di zaman lampau media itu bisa bernama dongeng, mitos dan legenda. Televisi boleh belum ditemukan tapi pemujaaan harus tetap dihidupkan. Bahwa kecantikan Cleopatra lebih sempurna dari peri, bahwa betis Ken Dedes menyemburkan cahaya, Jaka Tingkir sanggup memukul kepala kerbau hingga remuk, bahwa ada jenis perampok seperti Robin Hood yang kejahatannya bahkan terlihat indah.
Kita tak peduli apakah cerita itu nyata atau apakah tokoh-tokoh itu benar-benar ada. Yang kita butuhkan adalah bahwa betapa kita butuh keluar dari kenyataan dan hidup di luar kenyataan yang sering tampak indah, gemerlap dan serba sempurna itu. Kecenderungan yang sungguh bisa dimengerti karena di dalam kenyataan, sedikit saja orang yang merasa beruntung dan bernasib baik. Selebihnya, kenyataan dipenuhi oleh orang-orang yang merasa gagal dan putus asa.
Prie GS
Budayawan, tinggal di Semarang.