"Jangan Memberi Uang Kepada Anak Jalanan"
Jadi anak-anak jalanan itu bisa saja hanya mewarisi kebudayaan sebelumnya belaka. Jika pihak yang diwarisi itu mati, anak-anak jalanan itu mungkin akan bersih dengan sendirinya.
'Jangan memberi uang pada anak jalanan, tidak mendidik. Salurkan saja bantuan Anda ke...,'' kata sebuah spanduk. Jika Anda masuk ke kawasan Tugu Muda, Semarang, dan jika spanduk itu belum dicopot, Anda akan menjumpainya. Bunyi spanduk itu merupakan bagian dari cara pandang banyak pihak terhadap anak jalanan. Tanpa sadar cara semacam itu pula yang bercokol di benak banyak orang. Seorang kawan mengaku tegas-tegas menolak memberi mereka uang, meski uang receh menumpuk di ceruk-ceruk mobilnya. ''Ini bukan masalah duit. Ini soal prinsip. Memberi kail lebih saya sukai katimbang memberi umpan,'' kata si kawan. Jadi, terbukti, bahwa cara berpikir Pemerintah Kota memang tak sendiri. Apakah cara pandang semacam itu salah? Tidak. Yang salah ialah jika ada yang menganggap bahwa cuma itulah satu-satunya cara memandang persoalan anak jalanan. Karena terbukti, saya sendiri menempuh cara yang berbeda dari Pemerintah Kota. Saya tidak yakin sikap saya ini benar. Tapi izinkan saya menjelaskan alasannya. Saya mulai saja dari ikrar ini: kepada anak jalanan saya akan selalu memberi mereka uang sepanjang recehan itu masih tersedia. Sebuah niat mulia? Tidak. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, saya memberi karena saya takut. Takut kendaraan dicoret, takut dimaki, takut dijahati. Tak semua anak jalanan adalah anak kecil dan tak berdaya. Beberapa di antaranya malah bertato dan bertampang galak. Mereka juga selalu berkoloni, bergerombol. Dibanding orang seperti saya, mereka juga pasti lebih siap berkelahi dan sejenisnya. Jadi pemberian karena sebuah ketakutan, pasti bukan kedermawanan. Kedua, ada kalanya muncul juga rasa iba. Betapapun, saya bisa mengerti beratnya hidup yang mereka tanggung. Minus remaja-remaja yang bertato dan bertampang galak, banyak di antara mereka adalah anak-anak kecil, ibu-ibu hamil, dan wanita-wanita dengan bayi-bayi mereka. Melihat keadan mereka, melihat bagaimana kemiskinan sehebat itu harus menghadapi tekanan kota yang konsumtif dan keras, saya benar-benar tak sempat lagi berdebat soal apakah harus memberi ikan atau kail. Lagipula yang ada ini, yang biasa saya berikan ini, malah bukan ikan bukan kail, tapi sekadar duit receh. ''Jadi ayolah, kenapa harus berfilsafat untuk barang seremeh ini,'' nasihat saya pada diri sendiri. Ini pun bukan kemuliaan. Terharu adalah soal biasa saja. Para pencoleng dan koruptor juga manusia yang bisa terharu. Ketiga, adalah alasan paling prinsipil yang akhirnya makin meneguhkan ikrar saya. Alasan itu adalah betapa anak-anak jalanan ini hanya produk situasi. Di negara makmur, orang bahkan sudah merasa tertekan ketika berstatus sebagai penganggur, jobless. Antre berdiri mengambil uang santunan pemerintah tak lebih dari antrean aib bagi mereka. Sementara di sekitar kita makin banyak belaka pihak yang menekuni dunia pengemis. Belum lama ini dua anak, bukan pengemis, mendatangi rumah saya dan meminta-minta. ''Untuk bayar sekolah,'' katanya. Wah ini hebat, bahkan mengemis telah menjadi pilihan pertama dalam dunia kerja. Persis kenyataan di Indonesia. Betapa mental mengemis sebenarnya telah berurat-berakar dengan hebat. Dan itulah kenapa korupsi merajalela. Karena korupsi terjadi jika banyak orang berkelakuan semacam ini: miskin prestasi tapi rakus jabatan, menolak kerja keras tapi ingin bekelimpahan. Jadi anak-anak jalanan itu bisa saja hanya mewarisi kebudayaan sebelumnya belaka. Jika pihak yang diwarisi itu mati, anak-anak jalanan itu mungkin akan bersih dengan sendirinya.
Prie GS Budayawan dan tinggal di Semarang.
'Jangan memberi uang pada anak jalanan, tidak mendidik. Salurkan saja bantuan Anda ke...,'' kata sebuah spanduk. Jika Anda masuk ke kawasan Tugu Muda, Semarang, dan jika spanduk itu belum dicopot, Anda akan menjumpainya. Bunyi spanduk itu merupakan bagian dari cara pandang banyak pihak terhadap anak jalanan. Tanpa sadar cara semacam itu pula yang bercokol di benak banyak orang. Seorang kawan mengaku tegas-tegas menolak memberi mereka uang, meski uang receh menumpuk di ceruk-ceruk mobilnya. ''Ini bukan masalah duit. Ini soal prinsip. Memberi kail lebih saya sukai katimbang memberi umpan,'' kata si kawan. Jadi, terbukti, bahwa cara berpikir Pemerintah Kota memang tak sendiri. Apakah cara pandang semacam itu salah? Tidak. Yang salah ialah jika ada yang menganggap bahwa cuma itulah satu-satunya cara memandang persoalan anak jalanan. Karena terbukti, saya sendiri menempuh cara yang berbeda dari Pemerintah Kota. Saya tidak yakin sikap saya ini benar. Tapi izinkan saya menjelaskan alasannya. Saya mulai saja dari ikrar ini: kepada anak jalanan saya akan selalu memberi mereka uang sepanjang recehan itu masih tersedia. Sebuah niat mulia? Tidak. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, saya memberi karena saya takut. Takut kendaraan dicoret, takut dimaki, takut dijahati. Tak semua anak jalanan adalah anak kecil dan tak berdaya. Beberapa di antaranya malah bertato dan bertampang galak. Mereka juga selalu berkoloni, bergerombol. Dibanding orang seperti saya, mereka juga pasti lebih siap berkelahi dan sejenisnya. Jadi pemberian karena sebuah ketakutan, pasti bukan kedermawanan. Kedua, ada kalanya muncul juga rasa iba. Betapapun, saya bisa mengerti beratnya hidup yang mereka tanggung. Minus remaja-remaja yang bertato dan bertampang galak, banyak di antara mereka adalah anak-anak kecil, ibu-ibu hamil, dan wanita-wanita dengan bayi-bayi mereka. Melihat keadan mereka, melihat bagaimana kemiskinan sehebat itu harus menghadapi tekanan kota yang konsumtif dan keras, saya benar-benar tak sempat lagi berdebat soal apakah harus memberi ikan atau kail. Lagipula yang ada ini, yang biasa saya berikan ini, malah bukan ikan bukan kail, tapi sekadar duit receh. ''Jadi ayolah, kenapa harus berfilsafat untuk barang seremeh ini,'' nasihat saya pada diri sendiri. Ini pun bukan kemuliaan. Terharu adalah soal biasa saja. Para pencoleng dan koruptor juga manusia yang bisa terharu. Ketiga, adalah alasan paling prinsipil yang akhirnya makin meneguhkan ikrar saya. Alasan itu adalah betapa anak-anak jalanan ini hanya produk situasi. Di negara makmur, orang bahkan sudah merasa tertekan ketika berstatus sebagai penganggur, jobless. Antre berdiri mengambil uang santunan pemerintah tak lebih dari antrean aib bagi mereka. Sementara di sekitar kita makin banyak belaka pihak yang menekuni dunia pengemis. Belum lama ini dua anak, bukan pengemis, mendatangi rumah saya dan meminta-minta. ''Untuk bayar sekolah,'' katanya. Wah ini hebat, bahkan mengemis telah menjadi pilihan pertama dalam dunia kerja. Persis kenyataan di Indonesia. Betapa mental mengemis sebenarnya telah berurat-berakar dengan hebat. Dan itulah kenapa korupsi merajalela. Karena korupsi terjadi jika banyak orang berkelakuan semacam ini: miskin prestasi tapi rakus jabatan, menolak kerja keras tapi ingin bekelimpahan. Jadi anak-anak jalanan itu bisa saja hanya mewarisi kebudayaan sebelumnya belaka. Jika pihak yang diwarisi itu mati, anak-anak jalanan itu mungkin akan bersih dengan sendirinya.
Prie GS Budayawan dan tinggal di Semarang.