Tanpa Pandang Bulu
Saya ingat betul, pagi itu cukup terik. Matahari tampak sudah berjalan. Saya sendiri terburu-buru berangkat ke sekolah karena bangun kesiangan. Untungnya, bus dengan tujuan ke arah sekolahku pun cepat datang. Bus ini pun cukup lega.
Saya sengaja memilih duduk sendiri di bagian kiri depan, dekat dengan pintu dan jendela. Tak lama kemudian, ada seorang wanita masuk dan memilih duduk di sebelahku. Tampaknya, usia penumpang tersebut jauh berada di atas usiaku yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sedangkan penumpang sebelahku tersebut sudah bekerja, terlihat dari pakaian yang ia kenakan bertuliskan sebuah nama perusahaan konveksi di kota ini.
Kondektur mulai menagih ongkos kepada masing-masing penumpang. Dan oh, saya lupa meminta uang saku. Satu-satunya uang yang kubawa adalah uang Rp 50 ribu. Sebenarnya uang ini adalah uang SPP yang seharusnya saya bayarkan kemarin, tetapi lagi-lagi ingatanku tak tajam. Saya sempat bingung membayar bis. Penumpang belakangku yang memberikan uang Rp 10 ribu saja, ditolak oleh kondektur karena tidak mempunyai kembaliannya. Terlebih lagi saya, yang membawa uang Rp 50 ribu dan sedangkan ongkos naik bus untuk pelajar pada saat itu masih Rp 500. “Bisa-bisa saya kena ‘semprot’ si kondektur,” batinku.
Benar, kondektur pun jelas menolak uang saya, karena tidak ada uang kembalian. Untuk kesekian kalinya, Dewi Fortuna kembali berpihak padaku. Penumpang sebelahku seperti mengerti keadaan dan situasi yang kali ini menimpaku. Ia mengeluarkan uang Rp 500. Dibayarkannya uang tersebut kepada kondektur seraya mengisyaratkan bahwa uang itu untuk ongkos bus saya.
Saya masih agak bingung mengapa ia melakukan hal ini, namun juga ingin mengucapkan terima kasih padanya. Ia pun memberikan senyum lebarnya tanpa bersuara. Kutangkap dari matanya ia berkata dalam hati, “Tidak apa-apa, ini untukmu...”
Saya melihat tak ada sisi egoisme dalam dirinya. Ya, jika penumpang sebelah saya ini egois, pasti ia tidak akan membantu saya. Apalagi kami berdua tak saling mengenal sebelumnya. Ia mungkin hanya akan diam melihat saya yang sedang kesusahan dan seolah-olah ia tak melihat apa yang terjadi. Tetapi dia dengan baik hati mau membayar ongkos bus saya. Sungguh sikap yang membuat saya kagum sampai saat ini. Sikapnya inilah yang perlu diteladani, saling membantu dan peduli tanpa pandang bulu kenal atau tak mengenal, seumur atau tak seumur, seagama atau tak seagama, kaya atau miskin, dan lain-lain.
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Saya sengaja memilih duduk sendiri di bagian kiri depan, dekat dengan pintu dan jendela. Tak lama kemudian, ada seorang wanita masuk dan memilih duduk di sebelahku. Tampaknya, usia penumpang tersebut jauh berada di atas usiaku yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sedangkan penumpang sebelahku tersebut sudah bekerja, terlihat dari pakaian yang ia kenakan bertuliskan sebuah nama perusahaan konveksi di kota ini.
Kondektur mulai menagih ongkos kepada masing-masing penumpang. Dan oh, saya lupa meminta uang saku. Satu-satunya uang yang kubawa adalah uang Rp 50 ribu. Sebenarnya uang ini adalah uang SPP yang seharusnya saya bayarkan kemarin, tetapi lagi-lagi ingatanku tak tajam. Saya sempat bingung membayar bis. Penumpang belakangku yang memberikan uang Rp 10 ribu saja, ditolak oleh kondektur karena tidak mempunyai kembaliannya. Terlebih lagi saya, yang membawa uang Rp 50 ribu dan sedangkan ongkos naik bus untuk pelajar pada saat itu masih Rp 500. “Bisa-bisa saya kena ‘semprot’ si kondektur,” batinku.
Benar, kondektur pun jelas menolak uang saya, karena tidak ada uang kembalian. Untuk kesekian kalinya, Dewi Fortuna kembali berpihak padaku. Penumpang sebelahku seperti mengerti keadaan dan situasi yang kali ini menimpaku. Ia mengeluarkan uang Rp 500. Dibayarkannya uang tersebut kepada kondektur seraya mengisyaratkan bahwa uang itu untuk ongkos bus saya.
Saya masih agak bingung mengapa ia melakukan hal ini, namun juga ingin mengucapkan terima kasih padanya. Ia pun memberikan senyum lebarnya tanpa bersuara. Kutangkap dari matanya ia berkata dalam hati, “Tidak apa-apa, ini untukmu...”
Saya melihat tak ada sisi egoisme dalam dirinya. Ya, jika penumpang sebelah saya ini egois, pasti ia tidak akan membantu saya. Apalagi kami berdua tak saling mengenal sebelumnya. Ia mungkin hanya akan diam melihat saya yang sedang kesusahan dan seolah-olah ia tak melihat apa yang terjadi. Tetapi dia dengan baik hati mau membayar ongkos bus saya. Sungguh sikap yang membuat saya kagum sampai saat ini. Sikapnya inilah yang perlu diteladani, saling membantu dan peduli tanpa pandang bulu kenal atau tak mengenal, seumur atau tak seumur, seagama atau tak seagama, kaya atau miskin, dan lain-lain.
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Tidak ada komentar:
Silahkan isi komentar ...