Wayan Dipta: UMKM Perlu Bersiap Menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Kalangan pelaku UMKM perlu mempersiapkan diri menyambut adanya sebuah dinamika baru dalam dunia perdagangan internasional yang akan diadopsi Indonesia. Setelah CAFTA pada awal tahun ini, kini semua pihak harus bersiap untuk menghadapi sebuah pasar tunggal bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diimplementasikan bertahap mulai 2015.
Demikian salah satu intisari pernyataan yang dikemukakan oleh I Wayan Dipta, Deputi bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM dalam diskusi Sosialisasi Kesiapan Nasional menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Sawelagiri, Kantor Bank Indonesia Semarang pada Kamis (14/10) tersebut selain menghadirkan Wayan, juga menghadirkan Meganingsih dan Winny dari Bank Indonesia. Ketiganya berbicara dari berbagai aspek, baik perbankan, kesiapan UMKM, dan wacana keberadaan lembaga pemeringkatan bagi UMKM.
Lebih lanjut Wayan Dipta menjelaskan, dalam konstruksi Masyarakat Ekonomi ASEAN, UMKM mendapatkan salah satu porsi perhatian yang besar. Hal ini dibuktikan dengan arahan menteri-menteri ekonomi dan pemimpin ASEAN yang berkaitan dengan UMKM antara lain melalui penumbuhan iklim berusaha yang kondusif, pengembangan SDM dan kapasitas UKM, fasilitasi akses pasar, fasilitasi dan pengembangan teknologi melalui inkubasi bisnis dan teknologi, meningkatkan akses finansial, serta membentuk sebuah ASEAN Advisory Board untuk UMKM. Gagasan besar ini diakui Wayan Dipta masih membutuhkan kerja keras karena masing-masing negara anggota ASEAN masih belum memiliki data konkret serta keseragaman regulasi.
Menanggapi pertanyaan dari Adhimmas Nugroho, Koordinator Relawan JRU sekaligus Koordinator OC PUPUK Kadin Jateng, mengenai dampak yang akan dihadapi UMKM ketika MEA 2015 ini benar-benar diimplementasikan di Indonesia, beliau mengatakan dampaknya pasti akan terasa dan ini harus benar-benar disiapkan sebelumnya oleh para praktisi bisnis mikro. Wayan kemudian memaparkan, di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi Kementerian Koperasi & UKM, pihaknya akan menempuh jalan pemberdayaan UMKM melalui skema “clustering” dan program OVOP (One Village One Product). “Keterlibatan pemerintah daerah dibutuhkan karena sesungguhnya pemerintah daerah yang mengerti kebutuhan dan spesifikasi di masing-masing daerah,” tuturnya menambahkan.
Berdasarkan informasi yang didapat, skema MEA 2015 ini secara perlahan namun pasti telah disiapkan oleh elite ekonomi Jakarta. Melalui MEA, ada lima pilar liberalisasi yang akan diberlakukan yaitu liberalisasi arus barang, arus jasa, siklus investasi, aliran modal, dan perputaran tenaga kerja terlatih. Indonesia mengadopsi liberalisasi di sektor asuransi dan pasar modal pada 2015 dan di sektor perbankan pada 2020. Tentu saja ini akan langsung berhadapan dengan kenyataan ekonomi Indonesia yang 99,99% konstruksinya dibangun oleh sektor UMKM. Dengan penyerapan angkatan kerja sebanyak 96,2 juta orang atau 97,30% dari total angkatan kerja, sektor ini perlu dipertahankan untuk tidak berpindah dari manufaktur menjadi sekadar perdagangan saja.
Koordinator Pengembangan JRU, Agung Kurniawan yang turut hadir menyebutkan jika implementasi pasar tunggal ini merupakan sebuah pisau bermata dua bagi pelaku bisnis. “Hanya mereka yang memiliki daya saing kuat dan didukung oleh sumberdaya yang kuat pula yang akan bertahan,” ujarnya. Ini tentu saja kongruen dengan fakta di lapangan jika berbagai pelaku bisnis mikro banyak mengeluhkan keberadaan produk China yang mengikis pasar mereka. “Langkah kami untuk terjun serius menggarap akses finansial bagi UMKM bersama PUPUK Kadin Jateng merupakan sebuah ikhtiar untuk meningkatkan daya saing,” tuturnya menambahkan. JRU dan PUPUK Kadin Jateng sebelumnya telah membangun sebuah kesepahaman untuk mengembangkan akses finansial dan pengembangan kapasitas melalui pendampingan dan “linkage” yang memang merupakan kunci untuk bertahan.
Demikian salah satu intisari pernyataan yang dikemukakan oleh I Wayan Dipta, Deputi bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Koperasi dan UKM dalam diskusi Sosialisasi Kesiapan Nasional menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Sawelagiri, Kantor Bank Indonesia Semarang pada Kamis (14/10) tersebut selain menghadirkan Wayan, juga menghadirkan Meganingsih dan Winny dari Bank Indonesia. Ketiganya berbicara dari berbagai aspek, baik perbankan, kesiapan UMKM, dan wacana keberadaan lembaga pemeringkatan bagi UMKM.
Lebih lanjut Wayan Dipta menjelaskan, dalam konstruksi Masyarakat Ekonomi ASEAN, UMKM mendapatkan salah satu porsi perhatian yang besar. Hal ini dibuktikan dengan arahan menteri-menteri ekonomi dan pemimpin ASEAN yang berkaitan dengan UMKM antara lain melalui penumbuhan iklim berusaha yang kondusif, pengembangan SDM dan kapasitas UKM, fasilitasi akses pasar, fasilitasi dan pengembangan teknologi melalui inkubasi bisnis dan teknologi, meningkatkan akses finansial, serta membentuk sebuah ASEAN Advisory Board untuk UMKM. Gagasan besar ini diakui Wayan Dipta masih membutuhkan kerja keras karena masing-masing negara anggota ASEAN masih belum memiliki data konkret serta keseragaman regulasi.
Menanggapi pertanyaan dari Adhimmas Nugroho, Koordinator Relawan JRU sekaligus Koordinator OC PUPUK Kadin Jateng, mengenai dampak yang akan dihadapi UMKM ketika MEA 2015 ini benar-benar diimplementasikan di Indonesia, beliau mengatakan dampaknya pasti akan terasa dan ini harus benar-benar disiapkan sebelumnya oleh para praktisi bisnis mikro. Wayan kemudian memaparkan, di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi Kementerian Koperasi & UKM, pihaknya akan menempuh jalan pemberdayaan UMKM melalui skema “clustering” dan program OVOP (One Village One Product). “Keterlibatan pemerintah daerah dibutuhkan karena sesungguhnya pemerintah daerah yang mengerti kebutuhan dan spesifikasi di masing-masing daerah,” tuturnya menambahkan.
Berdasarkan informasi yang didapat, skema MEA 2015 ini secara perlahan namun pasti telah disiapkan oleh elite ekonomi Jakarta. Melalui MEA, ada lima pilar liberalisasi yang akan diberlakukan yaitu liberalisasi arus barang, arus jasa, siklus investasi, aliran modal, dan perputaran tenaga kerja terlatih. Indonesia mengadopsi liberalisasi di sektor asuransi dan pasar modal pada 2015 dan di sektor perbankan pada 2020. Tentu saja ini akan langsung berhadapan dengan kenyataan ekonomi Indonesia yang 99,99% konstruksinya dibangun oleh sektor UMKM. Dengan penyerapan angkatan kerja sebanyak 96,2 juta orang atau 97,30% dari total angkatan kerja, sektor ini perlu dipertahankan untuk tidak berpindah dari manufaktur menjadi sekadar perdagangan saja.
Koordinator Pengembangan JRU, Agung Kurniawan yang turut hadir menyebutkan jika implementasi pasar tunggal ini merupakan sebuah pisau bermata dua bagi pelaku bisnis. “Hanya mereka yang memiliki daya saing kuat dan didukung oleh sumberdaya yang kuat pula yang akan bertahan,” ujarnya. Ini tentu saja kongruen dengan fakta di lapangan jika berbagai pelaku bisnis mikro banyak mengeluhkan keberadaan produk China yang mengikis pasar mereka. “Langkah kami untuk terjun serius menggarap akses finansial bagi UMKM bersama PUPUK Kadin Jateng merupakan sebuah ikhtiar untuk meningkatkan daya saing,” tuturnya menambahkan. JRU dan PUPUK Kadin Jateng sebelumnya telah membangun sebuah kesepahaman untuk mengembangkan akses finansial dan pengembangan kapasitas melalui pendampingan dan “linkage” yang memang merupakan kunci untuk bertahan.