Mengemas Kearifan Lokal dalam Entrepreneurship
Indonesia memiliki segudang kearifan lokal. Misalnya saja gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira atau toleransi. Kearifan lokal inilah yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan. Tak heran, kearifan lokal kemudian juga menjadi patokan bermasyarakat, mendorong manusia berkelompok dan membentuk entitas. Bahkan, adanya kearifan lokal ini membuat rasa kepedulian kepada orang lain menjadi tinggi.
Menurut Francis Fukuyama, penulis buku Trust the Social Virtues and the Creation of Prosperity, kearifan lokal merupakan modal sosial yang dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kearifan lokal dapat ditingkatkan menjadi social enterprise, yaitu bisnis yang berbasis sosial. Tujuannya tak semata-mata hanya karena uang, tetapi juga benefit sosial.
Contoh kecilnya adalah dengan mendirikan lembaga keuangan mikro (LKM) atau koperasi. Hal ini pula yang menginspirasi Jaringan RumahUSAHA untuk membangun LKM MUA (Mitra Usaha Anda) dan Koperasi Rustama. Awalnya, LKM MUA dan Koperasi Rustama ini didirikan karena banyaknya masyarakat kurang mampu di Jawa Tengah, terutama di Kota Semarang. Banyak orang yang ingin membangun usaha namun tidak mempunyai modal dana yang cukup. Bahkan tak sedikit di antaranya yang merasa bahwa untuk memenuhi kebutuhan makan pun sulit. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, sejumlah koordinator Jaringan RumahUSAHA berkumpul dan membahas masalah ini. Mereka memanfaatkan local wisdom sebagai modal membangun social enterprise berupa lembaga keuangan ini.
Pemandangan serupa namun sedikit berbeda juga terlihat di Ambon. Di sana, ada sistem yang disebut dengan Pela. Sistem kebersamaan ini sebenarnya mirip dengan gotong royong di Jawa. Bahkan Pela bisa menembus batasan agama, marga, ataupun suku. Contoh kegiatannya adalah jika ada suatu kelompok nelayan yang akan melaut, mereka tak sungkan mengajak tetangganya untuk bahu-membahu menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri. Adapun, antara profesi yang satu dengan yang lainnya saling membantu. Jika nelayan sedang mengalami paceklik karena cuaca buruk, petani akan membantu, baik dalam segi modal finansial maupun peralatan yang memang sudah sepakat dikelola bersama.
Adanya kearifan lokal inilah yang kemudian memicu timbulnya social enterprise. Social enterprise yang terbentuk bisa dalam dua bentuk lembaga, yaitu lembaga formal dan informal. Tercatat ada 12 karakteristik social enterprise yang ada di Indonesia. Pertama, social enterprise yang tujuan utamanya adalah memberikan benefit untuk orang lain. Kedua, keuntungan bisnis diinvestasikan lagi untuk pengembangan usaha. Organisasi ini biasanya berbentuk koperasi atau PT.
Ketiga, social enterprise berbentuk yayasan, perkumpulan, koperasi, serikat buruh, organisasi, lembaga pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengmbangkan program. Misalnya Grup Astra membuat Yayasan Dharma Bakti Astra dan PT Unilever Indonesia membentuk Yayasan Peduli. Keempat, membentuk komunitas sosial. Social enterprise bertujuan untuk memelihara sumber daya manusia. Kelima, memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas.
Keenam, lebih berorientasi pada pasar mancanegara. Ketujuh, dimulai dari menciptakan social benefit seperti seni, kreativitas, aspek moral, pola pikir, atau film yang kemudian berubah menjadi economic benefit. Social enterprise yang kedelapan mempunyai kepemimpinan yang kuat. Kesembilan, jiwa kewirausahaannya kuat. Kesepuluh, mempunyai kemampuan mengubah pola pikir komunitas. Kesebelas, ada kontribusi yang voluntary. Sedangkan keduabelas, ada modal intelektual yang berkembang.
Selain kearifan lokal tersebut, sesungguhnya masih banyak kearifan lokal lain yang bisa digali untuk membangun social enterprise. Sekarang, tugas kita adalah bagaimana mengemas nilai-nilai dan kearifan lokal tersebut agar lebih membumi tetapi dengan konsep yang lebih modern. Saya yakin, jika kita dapat me-leverage-nya dengan baik, hal ini akan mendorong terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Menurut Francis Fukuyama, penulis buku Trust the Social Virtues and the Creation of Prosperity, kearifan lokal merupakan modal sosial yang dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kearifan lokal dapat ditingkatkan menjadi social enterprise, yaitu bisnis yang berbasis sosial. Tujuannya tak semata-mata hanya karena uang, tetapi juga benefit sosial.
Contoh kecilnya adalah dengan mendirikan lembaga keuangan mikro (LKM) atau koperasi. Hal ini pula yang menginspirasi Jaringan RumahUSAHA untuk membangun LKM MUA (Mitra Usaha Anda) dan Koperasi Rustama. Awalnya, LKM MUA dan Koperasi Rustama ini didirikan karena banyaknya masyarakat kurang mampu di Jawa Tengah, terutama di Kota Semarang. Banyak orang yang ingin membangun usaha namun tidak mempunyai modal dana yang cukup. Bahkan tak sedikit di antaranya yang merasa bahwa untuk memenuhi kebutuhan makan pun sulit. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, sejumlah koordinator Jaringan RumahUSAHA berkumpul dan membahas masalah ini. Mereka memanfaatkan local wisdom sebagai modal membangun social enterprise berupa lembaga keuangan ini.
Pemandangan serupa namun sedikit berbeda juga terlihat di Ambon. Di sana, ada sistem yang disebut dengan Pela. Sistem kebersamaan ini sebenarnya mirip dengan gotong royong di Jawa. Bahkan Pela bisa menembus batasan agama, marga, ataupun suku. Contoh kegiatannya adalah jika ada suatu kelompok nelayan yang akan melaut, mereka tak sungkan mengajak tetangganya untuk bahu-membahu menghasilkan ikan yang lebih banyak daripada jika menangkap sendiri. Adapun, antara profesi yang satu dengan yang lainnya saling membantu. Jika nelayan sedang mengalami paceklik karena cuaca buruk, petani akan membantu, baik dalam segi modal finansial maupun peralatan yang memang sudah sepakat dikelola bersama.
Adanya kearifan lokal inilah yang kemudian memicu timbulnya social enterprise. Social enterprise yang terbentuk bisa dalam dua bentuk lembaga, yaitu lembaga formal dan informal. Tercatat ada 12 karakteristik social enterprise yang ada di Indonesia. Pertama, social enterprise yang tujuan utamanya adalah memberikan benefit untuk orang lain. Kedua, keuntungan bisnis diinvestasikan lagi untuk pengembangan usaha. Organisasi ini biasanya berbentuk koperasi atau PT.
Ketiga, social enterprise berbentuk yayasan, perkumpulan, koperasi, serikat buruh, organisasi, lembaga pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengmbangkan program. Misalnya Grup Astra membuat Yayasan Dharma Bakti Astra dan PT Unilever Indonesia membentuk Yayasan Peduli. Keempat, membentuk komunitas sosial. Social enterprise bertujuan untuk memelihara sumber daya manusia. Kelima, memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas.
Keenam, lebih berorientasi pada pasar mancanegara. Ketujuh, dimulai dari menciptakan social benefit seperti seni, kreativitas, aspek moral, pola pikir, atau film yang kemudian berubah menjadi economic benefit. Social enterprise yang kedelapan mempunyai kepemimpinan yang kuat. Kesembilan, jiwa kewirausahaannya kuat. Kesepuluh, mempunyai kemampuan mengubah pola pikir komunitas. Kesebelas, ada kontribusi yang voluntary. Sedangkan keduabelas, ada modal intelektual yang berkembang.
Selain kearifan lokal tersebut, sesungguhnya masih banyak kearifan lokal lain yang bisa digali untuk membangun social enterprise. Sekarang, tugas kita adalah bagaimana mengemas nilai-nilai dan kearifan lokal tersebut agar lebih membumi tetapi dengan konsep yang lebih modern. Saya yakin, jika kita dapat me-leverage-nya dengan baik, hal ini akan mendorong terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Tidak ada komentar:
Silahkan isi komentar ...