Yang Tercatat dari Klinik Budaya Rupa 2011
Sebagai sebuah komunitas, JRU tidak melupakan pentingnya berbudaya sebagai sebuah unsur kemanusiaan. Salah satu upaya untuk memanusiakan tersebut adalah dengan mendukung gelaran Klinik Budaya Rupa 2011 yang digelar di Semarang baru-baru ini. Berkut beberapa catatan kesan yang terkumpul dari relawan yang terlibat di dalam kegiatan tersebut.
Menggelar kegiatan budaya di Semarang tentu bukan perkara mudah. Kota ini sesak dengan pertarungan komersialisasi sebagai implementasi fisik dari sebuah kota perdagangan. Ikhtiar untuk menyadarkan publik akan proses kebudayaan juga bukan persoalan mudah. Gedung-gedung yang menjadi kantong kebudayaan perlahan mulai tergerus perkembangan arus modernisasi. Gedung Ngesti Pandowo yang berada di bilangan Pemuda kini telah tersulap menjadi sebuah mal dan nantinya hotel. TBRS juga semakin tidak terperhatikan seiring dengan arus budaya urban dan komersialisasi rekreasi yang diusung oleh sebuah pusat hiburan di sebelahnya. Kantong-kantong kebudayaan dalam arti fisik telah berubah karena tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan waktu. Yang tersisa dari kota ini adalah semangat dan aktor kebudayaan yang sama-sama berjuang melakukan aktualisasi kebudayaan sesuai dengan konteks zaman.
Semangat itulah yang kemudian memperkuat seorang Ridho Muhammad Salafi, seorang muda yang kini menggagas sebuah komunitas bernama Byar Creative Industry. Bersama dengan karibnya yang pegiat kebudayaan dari Maros Visual Creative Iniatiative Jakarta, Adikara mereka kemudian mengusung sebuah gelaran “pendidikan” kebudayaan bertajuk Klinik Budaya Rupa 2011. Dihelat di akhir bulan Maret 2011 yang lalu di Padepokan Sanggar Gerget di barat Semarang, klinik ini menjadi sebuah awal indah bagi pesertanya untuk memahami perspektif yang lain dalam kehidupan kebudayaan. Klinik Budaya Rupa 2011 kali ini mengusung tema Lintas Titik. Filosofi dari tema tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Adikara dimaksudkan sebagai penegasan atas penyelenggaraan yang menggabungkan berbagai kekuatan. Klinik Budaya Rupa 2011 diselenggarakan oleh Maros Visual Creative Initiative dan Byar Creative Industry dan didukung oleh komunitas-komunitas seperti Komunitas Pecinta Kertas (Bekasi), Sanggar Greget (Semarang), Sacred Bridge Foundation (Jakarta), Rhythm Salad League (Jakarta), Boemboe Forum (Jakarta), Karamba Art (Semarang), Orart-Oret Guyub Art (Semarang), Yayasan Setara (Semarang), dan Jaringan RumahUSAHA.
Sesuai dengan namanya, Klinik Budaya Rupa merupakan sebuah klinik pembelajaran aksi nyata kebudayaan kreatif yaitu musik, film, dan kerajinan. Mereka dikarantina selama tiga hari dan terlibat dalam sebuah diskusi dan eksperimen seputar klinik seni yang sudah diikutinya. Proses kreatif yang meluncur dalam klinik ini seluruhnya berbasis dialog dan otentisitas. Audiens diajak untuk kembali memahami keakaran dan jati diri mereka. Inilah sebuah ikhtiar kecil yang menyentuh pondasi sebuah kepribadian. “Proses pemanusiaan tidak akan pernah berjalan semestinya ketika kita tidak beranjak dari identitas alamiah kita sendiri,” tutur Sutar Adijoyo Putranto, relawan JRU ketika ditanya pendapatnya mengenai tema besar hajatan kebudayaan ini. Sutar kemudian menambahkan pribadi yang utuh adalah pribadi yang di dalamnya juga paham akan nilai-nilai kebudayaan yang intinya selalu mengajarkan kebaikan, kesetimbangan, dan kesetaraan.
Langkah untuk mewarnai proses pemahaman tersebut kemudian mewujud dalam kehadiran puluhan relawan JRU ke dalam forum apresiasi yang digelar oleh Klinik Budaya Rupa sebagai puncak kegiatan. Hasil eksperimen laiknya sebuah laboratorium tersebut dipertunjukkan ke depan publik Semarang yang giat menekuni kebudayaan. “Inilah sebuah nostalgia sekaligus medium apresiasi kita terhadap berkesenian,” ujar Metha Pratista, relawan JRU yang sehari-harinya mengakrabi dunia layanan keuangan mikro. Ya, puncak klinik tersebut mempertunjukkan sebuah eksperimen musik kontemporer yang kaya makna. Musik menjadi sebuah medium apresiasi aktornya terhadap berbagai fenomena kehidupan yang kali ini banyak mengusung isu lingkungan. Melalui klinik tersebut, tiga anak jalanan yang didampingi oleh Yayasan Setara menemukan sebuah horizon baru. Mereka menemukan diri mereka sebenarnya, seorang pemusik, yang kemudian diapresiasi dalam sebuah racikan bersama peserta lainnya yang akrab dengan ilustrasi musik teater, gitar akustik, dan eksperimentasi musik jazz.
Menggelar kegiatan budaya di Semarang tentu bukan perkara mudah. Kota ini sesak dengan pertarungan komersialisasi sebagai implementasi fisik dari sebuah kota perdagangan. Ikhtiar untuk menyadarkan publik akan proses kebudayaan juga bukan persoalan mudah. Gedung-gedung yang menjadi kantong kebudayaan perlahan mulai tergerus perkembangan arus modernisasi. Gedung Ngesti Pandowo yang berada di bilangan Pemuda kini telah tersulap menjadi sebuah mal dan nantinya hotel. TBRS juga semakin tidak terperhatikan seiring dengan arus budaya urban dan komersialisasi rekreasi yang diusung oleh sebuah pusat hiburan di sebelahnya. Kantong-kantong kebudayaan dalam arti fisik telah berubah karena tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan waktu. Yang tersisa dari kota ini adalah semangat dan aktor kebudayaan yang sama-sama berjuang melakukan aktualisasi kebudayaan sesuai dengan konteks zaman.
Semangat itulah yang kemudian memperkuat seorang Ridho Muhammad Salafi, seorang muda yang kini menggagas sebuah komunitas bernama Byar Creative Industry. Bersama dengan karibnya yang pegiat kebudayaan dari Maros Visual Creative Iniatiative Jakarta, Adikara mereka kemudian mengusung sebuah gelaran “pendidikan” kebudayaan bertajuk Klinik Budaya Rupa 2011. Dihelat di akhir bulan Maret 2011 yang lalu di Padepokan Sanggar Gerget di barat Semarang, klinik ini menjadi sebuah awal indah bagi pesertanya untuk memahami perspektif yang lain dalam kehidupan kebudayaan. Klinik Budaya Rupa 2011 kali ini mengusung tema Lintas Titik. Filosofi dari tema tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Adikara dimaksudkan sebagai penegasan atas penyelenggaraan yang menggabungkan berbagai kekuatan. Klinik Budaya Rupa 2011 diselenggarakan oleh Maros Visual Creative Initiative dan Byar Creative Industry dan didukung oleh komunitas-komunitas seperti Komunitas Pecinta Kertas (Bekasi), Sanggar Greget (Semarang), Sacred Bridge Foundation (Jakarta), Rhythm Salad League (Jakarta), Boemboe Forum (Jakarta), Karamba Art (Semarang), Orart-Oret Guyub Art (Semarang), Yayasan Setara (Semarang), dan Jaringan RumahUSAHA.
Sesuai dengan namanya, Klinik Budaya Rupa merupakan sebuah klinik pembelajaran aksi nyata kebudayaan kreatif yaitu musik, film, dan kerajinan. Mereka dikarantina selama tiga hari dan terlibat dalam sebuah diskusi dan eksperimen seputar klinik seni yang sudah diikutinya. Proses kreatif yang meluncur dalam klinik ini seluruhnya berbasis dialog dan otentisitas. Audiens diajak untuk kembali memahami keakaran dan jati diri mereka. Inilah sebuah ikhtiar kecil yang menyentuh pondasi sebuah kepribadian. “Proses pemanusiaan tidak akan pernah berjalan semestinya ketika kita tidak beranjak dari identitas alamiah kita sendiri,” tutur Sutar Adijoyo Putranto, relawan JRU ketika ditanya pendapatnya mengenai tema besar hajatan kebudayaan ini. Sutar kemudian menambahkan pribadi yang utuh adalah pribadi yang di dalamnya juga paham akan nilai-nilai kebudayaan yang intinya selalu mengajarkan kebaikan, kesetimbangan, dan kesetaraan.
Langkah untuk mewarnai proses pemahaman tersebut kemudian mewujud dalam kehadiran puluhan relawan JRU ke dalam forum apresiasi yang digelar oleh Klinik Budaya Rupa sebagai puncak kegiatan. Hasil eksperimen laiknya sebuah laboratorium tersebut dipertunjukkan ke depan publik Semarang yang giat menekuni kebudayaan. “Inilah sebuah nostalgia sekaligus medium apresiasi kita terhadap berkesenian,” ujar Metha Pratista, relawan JRU yang sehari-harinya mengakrabi dunia layanan keuangan mikro. Ya, puncak klinik tersebut mempertunjukkan sebuah eksperimen musik kontemporer yang kaya makna. Musik menjadi sebuah medium apresiasi aktornya terhadap berbagai fenomena kehidupan yang kali ini banyak mengusung isu lingkungan. Melalui klinik tersebut, tiga anak jalanan yang didampingi oleh Yayasan Setara menemukan sebuah horizon baru. Mereka menemukan diri mereka sebenarnya, seorang pemusik, yang kemudian diapresiasi dalam sebuah racikan bersama peserta lainnya yang akrab dengan ilustrasi musik teater, gitar akustik, dan eksperimentasi musik jazz.