Hanya Satu Kata: Kedayatahanan
Di sisi yang lain, dengan menghindari risiko, kita juga tengah belajar untuk menjauhkan diri dari kesuksesan. Pameo lama membuktikannya: “high risk, high return”. Hanya dengan mengambil risiko tinggi, kita akan mendapat imbal hasil yang tinggi pula.
Apa yang menjadi kunci utama dari sekian banyak cerita sukses? Ada satu benang merah yang menyatukannya yaitu kedayatahanan. Kita tidak akan menikmati terangnya lampu di malam hari bila seorang Thomas Alva Edison berhenti pada percobaan-percobaannya yang membuatnya dianggap gila. Kita juga tidak akan menikmati mudahnya berkomunikasi melalui telepon bila Alexander Graham Bell menghentikan percobaannya mentransmisikan sinyal listrik untuk menghantarkan sinyal suara. Semuanya terjadi hanya karena mereka memiliki sebuah kedayatahanan.
Kajian mengenai kedayatahanan ini menjadi sesuatu yang mengemuka ketika Paul Stoltz mendefinisikan sejenis kecerdasan baru yang menilai seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Lansekap kecerdasan ini berbeda dengan tiga kecerdasan yang telah didefinisikan sebelumnya yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga kecerdasan tersebut adalah “alat” untuk menyelesaikan masalah. Ketiga kecerdasan tersebut tidak akan berarti apa-apa ketika sang pengemban amanat tidak memiliki sebuah keyakinan untuk melangkahkan dirinya dengan berani mengambil risiko. Ada banyak kajian yang menyebutkan jika untuk sukses, seseorang lebih banyak ditentukan oleh faktor kedayatahanan katimbang berurusan dengan kompetensi dan kecerdasan. Berani mengambil risiko adalah kunci pembukanya.
Begitu pentingnya urusan kedayatahanan ini hingga saat ini banyak sekali program pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan kesadaran akan kecerdasan kedayatahanan. Ironisnya, kedayatahanan ini masih menjadi sesuatu yang langka. Mengapa? Tentu saja ini berkaitan dengan pengalaman sosial seseorang. Bila seseorang sedari usia dini telah banyak diberi hambatan untuk melakukan sesuatu yang kita anggap memiliki risiko, dia sedang belajar untuk membatasi dirinya sendiri untuk selalu menghindari risiko. Di sisi yang lain, dengan menghindari risiko, kita juga tengah belajar untuk menjauhkan diri dari kesuksesan. Pameo lama membuktikannya: “high risk, high return”. Hanya dengan mengambil risiko tinggi, kita akan mendapat imbal hasil yang tinggi pula.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Saatnya kita menjadi semakin ramah dengan risiko. Mengambil risiko sesungguhnya dapat dilakukan dari hal-hal paling kecil dalam kehidupan kita. Melalui latihan mengambil risiko sesungguhnya kita sedang menempa diri untuk menjadi seorang pengelola risiko. Ya, paradoks risiko menyebutkan jika kita sesungguhnya tidak sedang benar-benar berani untuk mengambil risiko. Risiko yang kita ambil sesungguhnya adalah sebuah modul yang telah diperhitungkan sebelumnya. Pengelolaan risiko inilah yang membuat seseorang memiliki sebuah kecerdasan kedayatahanan. Dia meyakini seluruh risiko yang dijalaninya hanyalah bagian dari sesuatu yang telah diperhitungkan. Jadi, buat apa bila kita tidak berdaya tahan bersahabat dengannya. Maka, hanya satu kata untuk kita: berdaya tahanlah!
Adhimmas Nugroho
Relawan Jaringan RumahUSAHA
Apa yang menjadi kunci utama dari sekian banyak cerita sukses? Ada satu benang merah yang menyatukannya yaitu kedayatahanan. Kita tidak akan menikmati terangnya lampu di malam hari bila seorang Thomas Alva Edison berhenti pada percobaan-percobaannya yang membuatnya dianggap gila. Kita juga tidak akan menikmati mudahnya berkomunikasi melalui telepon bila Alexander Graham Bell menghentikan percobaannya mentransmisikan sinyal listrik untuk menghantarkan sinyal suara. Semuanya terjadi hanya karena mereka memiliki sebuah kedayatahanan.
Kajian mengenai kedayatahanan ini menjadi sesuatu yang mengemuka ketika Paul Stoltz mendefinisikan sejenis kecerdasan baru yang menilai seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Lansekap kecerdasan ini berbeda dengan tiga kecerdasan yang telah didefinisikan sebelumnya yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga kecerdasan tersebut adalah “alat” untuk menyelesaikan masalah. Ketiga kecerdasan tersebut tidak akan berarti apa-apa ketika sang pengemban amanat tidak memiliki sebuah keyakinan untuk melangkahkan dirinya dengan berani mengambil risiko. Ada banyak kajian yang menyebutkan jika untuk sukses, seseorang lebih banyak ditentukan oleh faktor kedayatahanan katimbang berurusan dengan kompetensi dan kecerdasan. Berani mengambil risiko adalah kunci pembukanya.
Begitu pentingnya urusan kedayatahanan ini hingga saat ini banyak sekali program pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan kesadaran akan kecerdasan kedayatahanan. Ironisnya, kedayatahanan ini masih menjadi sesuatu yang langka. Mengapa? Tentu saja ini berkaitan dengan pengalaman sosial seseorang. Bila seseorang sedari usia dini telah banyak diberi hambatan untuk melakukan sesuatu yang kita anggap memiliki risiko, dia sedang belajar untuk membatasi dirinya sendiri untuk selalu menghindari risiko. Di sisi yang lain, dengan menghindari risiko, kita juga tengah belajar untuk menjauhkan diri dari kesuksesan. Pameo lama membuktikannya: “high risk, high return”. Hanya dengan mengambil risiko tinggi, kita akan mendapat imbal hasil yang tinggi pula.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Saatnya kita menjadi semakin ramah dengan risiko. Mengambil risiko sesungguhnya dapat dilakukan dari hal-hal paling kecil dalam kehidupan kita. Melalui latihan mengambil risiko sesungguhnya kita sedang menempa diri untuk menjadi seorang pengelola risiko. Ya, paradoks risiko menyebutkan jika kita sesungguhnya tidak sedang benar-benar berani untuk mengambil risiko. Risiko yang kita ambil sesungguhnya adalah sebuah modul yang telah diperhitungkan sebelumnya. Pengelolaan risiko inilah yang membuat seseorang memiliki sebuah kecerdasan kedayatahanan. Dia meyakini seluruh risiko yang dijalaninya hanyalah bagian dari sesuatu yang telah diperhitungkan. Jadi, buat apa bila kita tidak berdaya tahan bersahabat dengannya. Maka, hanya satu kata untuk kita: berdaya tahanlah!
Adhimmas Nugroho
Relawan Jaringan RumahUSAHA