Jadi Entrepreneur atau Jadi Kulinya Entrepreneur?
Banyak orang yang masih bingung menentukan masa depannya. Beberapa orang yang lain merasa bimbang akan memilih profesi. Seakan pikiran mereka galau menemukan tujuan hidup. Terutama bagi anak-anak muda seusai lulus, baik lulus dari sekolah menengah atas maupun lulus dari kuliah. Mereka bimbang apakah akan menjadi entrepreneur yang akhir-akhir ini menjadi alternatif terobosan, atau akan menjadi kuli entrepreneur seperti yang dilakukan banyak orang?
Sebuah artikel di harian Kompas, 36 tahun lalu menarik untuk disimak kembali. Artikel pada 20 Oktober 1975 tersebut berjudul “Pegawai Lebih Aman daripada Pengusaha”. Penulis menyebutkan bahwa bekerja dapat menaikkan martabat. Tetapi anehnya ia juga menambahkan bahwa hampir semua pegawai tidak puas oleh jumlah gajinya, oleh karenanya mayoritas dari mereka sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan atau bekerja sampingan untuk menambah sarana hidupnya. Ini merupakan sebuah kontradiksi yang susah dicerna oleh masyarakat awam.
Tetapi apakah pernyataan bahwa menjadi pegawai cenderung lebih aman dibandingkan menjadi entrepreneur itu benar? Belum tentu. Seperti yang disebutkan dalam harian tersebut, banyak pegawai yang merasa tidak puas dengan penghasilannya. Gaji yang diperoleh bisa terkikis oleh inflasi. Banyak pula pegawai yang akhirnya terkena imbas persaingan global. Alhasil, tak sedikit karyawan yang kemudian mengalami PHK (Putus Hubungan Kerja). Hal ini terbukti bahwa menjadi pegawai belum tentu lebih aman dibandingkan menjadi pengusaha.
Sebagai contoh, misalnya kita ingin mempunyai mobil Honda Jazz yang harganya berkisar Rp 198.000.000. Bayangkan jika menjadi pegawai, berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk membeli mobil tersebut? Bayangkan pula jika kita melamar sebuah pekerjaan di kantor. Di sana kita harus berangkat pukul 7 pagi dan pulang jam 5 sore. Jika jarak antara rumah dan kantor cukup jauh, tentu kita harus berangkat lebih pagi agar tidak terlambat. Untuk mendapatkan uang tambahan pun kita harus pulang malam karena lembur. Dari sini pasti sudah banyak yang bertanya, lalu kita harus berangkat dan pulang pukul berapa?
Untuk penghasilan, anggap saja kita mendapatkan 3 juta per bulan. Dipotong untuk biaya bulanan dan lain-lain, bersih kita mungkin hanya bisa menabung sebesar Rp 800.000 tiap bulan. Padahal kenyataannya untuk mendapatkan gaji 3 juta per bulan, bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya kita harus bersaing bersama ribuan pengangguran lainnya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Kemudian bekerja di bawah tekanan dan bekerja tidak sehat. Belum lagi jika terjadi pengurangan pegawai atau jika status kita sudah tidak single alias sudah berkeluarga dan mempunyai anak, manajemen keuangan pasti akan semakin rumit.
Lain halnya bila kita menjadi entrepreneur atau pengusaha. Kita tidak perlu berebut mencari pekerjaan, tetapi justru menciptakan lapangan pekerjaan. Kita tidak perlu menuruti kata bos atau majikan karena kita menjadi bos bagi diri sendiri. Bukan orang lain yang menentukan kehidupan kita, melainkan kita sendiri yang menentukan. Kita bisa mengatur dan menyesuaikan sendiri, tidak terikat jam kantor. Penghasilan pun bergantung pada usaha kita sendiri.
Terlebih lagi, menjadi pegawai tidak begitu berdampak signifikan membuat bangsa ini maju, dibanding menjadi seorang pengusaha. Pengusaha dapat memberikan sumbangan kepada negara. Misalnya dengan membuka lapangan pekerjaan dan membayar pajak. Sebaliknya, apa andil yang bisa dilakukan oleh pegawai terhadap negara? Bukankah sebagian anggaran negara justru dihabiskan untuk membiayai jumlah pegawai pemerintah yang sangat banyak?
Dengan mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafit, berarti kita telah maju 5 langkah dari orang lain. Tetapi jika menjadi seorang pengusaha walaupun dalam taraf kecil, itu berarti kita telah maju 100 langkah menuju kesuksesan dibandingkan orang yang maju 5 langkah tadi. Oleh karena itu, jika ada kerabat yang baru lulus sekolah atau kuliah atau justru diri kita sendiri yang masih bingung menetapkan pilihan, yakinkanlah mereka dan diri kita sendiri untuk terus membangun spirit entrepreneurship untuk kemajuan hidup.
Semangat entrepreneurship, Selamat mencapai kesuksesan hidup!
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena
Sebuah artikel di harian Kompas, 36 tahun lalu menarik untuk disimak kembali. Artikel pada 20 Oktober 1975 tersebut berjudul “Pegawai Lebih Aman daripada Pengusaha”. Penulis menyebutkan bahwa bekerja dapat menaikkan martabat. Tetapi anehnya ia juga menambahkan bahwa hampir semua pegawai tidak puas oleh jumlah gajinya, oleh karenanya mayoritas dari mereka sibuk menjadi pengusaha kecil-kecilan atau bekerja sampingan untuk menambah sarana hidupnya. Ini merupakan sebuah kontradiksi yang susah dicerna oleh masyarakat awam.
Tetapi apakah pernyataan bahwa menjadi pegawai cenderung lebih aman dibandingkan menjadi entrepreneur itu benar? Belum tentu. Seperti yang disebutkan dalam harian tersebut, banyak pegawai yang merasa tidak puas dengan penghasilannya. Gaji yang diperoleh bisa terkikis oleh inflasi. Banyak pula pegawai yang akhirnya terkena imbas persaingan global. Alhasil, tak sedikit karyawan yang kemudian mengalami PHK (Putus Hubungan Kerja). Hal ini terbukti bahwa menjadi pegawai belum tentu lebih aman dibandingkan menjadi pengusaha.
Sebagai contoh, misalnya kita ingin mempunyai mobil Honda Jazz yang harganya berkisar Rp 198.000.000. Bayangkan jika menjadi pegawai, berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk membeli mobil tersebut? Bayangkan pula jika kita melamar sebuah pekerjaan di kantor. Di sana kita harus berangkat pukul 7 pagi dan pulang jam 5 sore. Jika jarak antara rumah dan kantor cukup jauh, tentu kita harus berangkat lebih pagi agar tidak terlambat. Untuk mendapatkan uang tambahan pun kita harus pulang malam karena lembur. Dari sini pasti sudah banyak yang bertanya, lalu kita harus berangkat dan pulang pukul berapa?
Untuk penghasilan, anggap saja kita mendapatkan 3 juta per bulan. Dipotong untuk biaya bulanan dan lain-lain, bersih kita mungkin hanya bisa menabung sebesar Rp 800.000 tiap bulan. Padahal kenyataannya untuk mendapatkan gaji 3 juta per bulan, bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya kita harus bersaing bersama ribuan pengangguran lainnya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Kemudian bekerja di bawah tekanan dan bekerja tidak sehat. Belum lagi jika terjadi pengurangan pegawai atau jika status kita sudah tidak single alias sudah berkeluarga dan mempunyai anak, manajemen keuangan pasti akan semakin rumit.
Lain halnya bila kita menjadi entrepreneur atau pengusaha. Kita tidak perlu berebut mencari pekerjaan, tetapi justru menciptakan lapangan pekerjaan. Kita tidak perlu menuruti kata bos atau majikan karena kita menjadi bos bagi diri sendiri. Bukan orang lain yang menentukan kehidupan kita, melainkan kita sendiri yang menentukan. Kita bisa mengatur dan menyesuaikan sendiri, tidak terikat jam kantor. Penghasilan pun bergantung pada usaha kita sendiri.
Terlebih lagi, menjadi pegawai tidak begitu berdampak signifikan membuat bangsa ini maju, dibanding menjadi seorang pengusaha. Pengusaha dapat memberikan sumbangan kepada negara. Misalnya dengan membuka lapangan pekerjaan dan membayar pajak. Sebaliknya, apa andil yang bisa dilakukan oleh pegawai terhadap negara? Bukankah sebagian anggaran negara justru dihabiskan untuk membiayai jumlah pegawai pemerintah yang sangat banyak?
Dengan mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafit, berarti kita telah maju 5 langkah dari orang lain. Tetapi jika menjadi seorang pengusaha walaupun dalam taraf kecil, itu berarti kita telah maju 100 langkah menuju kesuksesan dibandingkan orang yang maju 5 langkah tadi. Oleh karena itu, jika ada kerabat yang baru lulus sekolah atau kuliah atau justru diri kita sendiri yang masih bingung menetapkan pilihan, yakinkanlah mereka dan diri kita sendiri untuk terus membangun spirit entrepreneurship untuk kemajuan hidup.
Semangat entrepreneurship, Selamat mencapai kesuksesan hidup!
Serena Marga
Wiramuda, Relawan JRU
twitter: @saoriserena