Di mana Api Semangatmu?
9 September 2012 lalu, wajah saya seakan ditampar. Mata saya dipaksa untuk melihat makna hidup ini. Ya, dalam kegiatan Temu Nasional Kewirausahaan Sosial 2012 tersebut banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil. Tak hanya dihadiri oleh para pendiri dan deklarator organisasi AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia) sebagai penyelenggara itu sendiri, namun juga para praktisi kewirausahaan sosial se-Indonesia.
Nilai lebihnya, para praktisi kewirausahaan sosial yang hadir tak semuanya hidup dalam serba kesempurnaan. Bahkan beberapa diantaranya justru berkebutuhan khusus, namun tetap dengan semangat juang yang tinggi. Irma Suryati misalnya, seorang wanita yang kakinya cacat tetapi kontribusinya tak pernah cacat. Ia memulai perjuangan hidupnya menjadi seorang pengusaha kain perca setelah sebelumnya ia 15 kali ditolak perusahaan karena ketidaksempurnaan kakinya.
Dari sinilah, ia kemudian bertekad tidak akan lagi melamar pekerjaan, tetapi ialah yang menciptakan pekerjaan. Perjuangannya bisa dibilang cukup berat, mulai dari menghasilkan produk dari kain perca di sebuah pabrik tekstil, memasarkan produknya di Tanah Abang, Jakarta, mengalami penipuan oleh karyawannya sendiri, hingga Usahanya yg berada di Pasar Karangjati Ungaran pun sempat terbakar.
Namun akhirnya kini ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu. Bahkan pada tahun 2005, proposalnya untuk membangun sebuah pendopo di sekitar daerahnya yaitu Sruweng, Kebumen disetujui oleh pihak Pemkab setempat. Dengan pendopo tersebut, kini ia mampu memberdayakan orang-orang yang juga berkebutuhan khusus untuk mulai berkarya dengan kain perca.
Ada pula Pak Ciptono, Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang, yang memperkenalkan putra-putri didiknya dengan sangat bangga. Salah satunya adalah Ifa, seorang gadis tunarungu yang mempunyai prestasi di bidang modelling. Dengan terbata-bata ia berusaha menceritakan asal mula mengapa ia bisa tunarungu. Ia pun menceritakan pengalamannya yang sempat ditolak 9 kali oleh sekolah negeri hanya karena keterbatasannya tersebut.
Inilah yang membuat saya seakan ditampar. Saya rasa semua orang akan simpati dan mengagumi kehebatan mereka. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita yang normal sudah memiliki etos yang tinggi seperti mereka? Atau semangat kita justru semakin terpuruk? Ya mereka memang orang cacat fisik tetapi mereka tidak cacat mental dan etos, sedangkan di luar sana dewasa ini justru banyak orang yang tidak cacat fisik tetapi cacat mental dan tidak mempunyai semangat yang tinggi.
Seharusnya kita bisa lebih sadar bahwa Tuhan menjadikan kita makhluk sempurna dengan pikiran dan hati. Yang dengannya kita dapat berpikir memecahkan segala persoalan hidup. Ternyata kondisi fisik seburuk apapun juga bukanlah halangan, karena pikiran dan hati kita tetap bisa berkarya, menciptakan ide dan inovasi. Jika mereka yang berkebutuhan khusus saja mempunyai semangat yang tinggi, mengapa kita tidak bisa?
Nilai lebihnya, para praktisi kewirausahaan sosial yang hadir tak semuanya hidup dalam serba kesempurnaan. Bahkan beberapa diantaranya justru berkebutuhan khusus, namun tetap dengan semangat juang yang tinggi. Irma Suryati misalnya, seorang wanita yang kakinya cacat tetapi kontribusinya tak pernah cacat. Ia memulai perjuangan hidupnya menjadi seorang pengusaha kain perca setelah sebelumnya ia 15 kali ditolak perusahaan karena ketidaksempurnaan kakinya.
Dari sinilah, ia kemudian bertekad tidak akan lagi melamar pekerjaan, tetapi ialah yang menciptakan pekerjaan. Perjuangannya bisa dibilang cukup berat, mulai dari menghasilkan produk dari kain perca di sebuah pabrik tekstil, memasarkan produknya di Tanah Abang, Jakarta, mengalami penipuan oleh karyawannya sendiri, hingga Usahanya yg berada di Pasar Karangjati Ungaran pun sempat terbakar.
Namun akhirnya kini ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu. Bahkan pada tahun 2005, proposalnya untuk membangun sebuah pendopo di sekitar daerahnya yaitu Sruweng, Kebumen disetujui oleh pihak Pemkab setempat. Dengan pendopo tersebut, kini ia mampu memberdayakan orang-orang yang juga berkebutuhan khusus untuk mulai berkarya dengan kain perca.
Ada pula Pak Ciptono, Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang, yang memperkenalkan putra-putri didiknya dengan sangat bangga. Salah satunya adalah Ifa, seorang gadis tunarungu yang mempunyai prestasi di bidang modelling. Dengan terbata-bata ia berusaha menceritakan asal mula mengapa ia bisa tunarungu. Ia pun menceritakan pengalamannya yang sempat ditolak 9 kali oleh sekolah negeri hanya karena keterbatasannya tersebut.
Inilah yang membuat saya seakan ditampar. Saya rasa semua orang akan simpati dan mengagumi kehebatan mereka. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita yang normal sudah memiliki etos yang tinggi seperti mereka? Atau semangat kita justru semakin terpuruk? Ya mereka memang orang cacat fisik tetapi mereka tidak cacat mental dan etos, sedangkan di luar sana dewasa ini justru banyak orang yang tidak cacat fisik tetapi cacat mental dan tidak mempunyai semangat yang tinggi.
Seharusnya kita bisa lebih sadar bahwa Tuhan menjadikan kita makhluk sempurna dengan pikiran dan hati. Yang dengannya kita dapat berpikir memecahkan segala persoalan hidup. Ternyata kondisi fisik seburuk apapun juga bukanlah halangan, karena pikiran dan hati kita tetap bisa berkarya, menciptakan ide dan inovasi. Jika mereka yang berkebutuhan khusus saja mempunyai semangat yang tinggi, mengapa kita tidak bisa?