Harga Diri
HARGA diri adalah cara pandang kita terhadap diri kita sendiri. Cara pandang menghargai diri sendiri (self esteem) itu memengaruhi penampilan kita. Harga diri merupakan komponen utama yg akan menentukan keberhasilan atau kegagalan. Setidaknya itulah yang dikatakan Shiv Khera dalam You Can Win (1998).
Dalam konteks kehidupan berbangsa, harga diri sangat penting, terlebih lagi dalam pergaulan internasional di era global yang penuh penetrasi kapitalistik sekarang ini. Pertanyaannya, masihkah kita memiliki harga diri sebagai bangsa? Atau, harga diri justru sudah sering tergadaikan oleh kepentingan lain yang lebih bersifat finansial-materialistik? Masihkah kita merasa bangga menjadi bangsa Indonesia, yang kata Bung Karno adalah bangsa yang besar, bukan bangsa tempe? Begitu besarnya bangsa kita saat itu, sampai-sampai dapat berkata Go to hell with your aid! kepada AS. Harga diri sebagai bangsa yang besar itu telah terbukti mampu mengusir penjajah Belanda dr Bumi Pertiwi. Harga diri itu juga membangkitkan semangat untuk memersatukan bangsa-bangsa di kawasan Asia Afrika dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung. Tidak berlebihan kalau dikatakan, saat itu kita mampu berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan ketika berhadapan dengan bangsa yang disebut sebagai adikuasa seperti AS dan Uni Soviet, yang masih bersaing tajam dalam era Perang Dingin. *** HARGA diri sbg bangsa melandasi munculnya kepercayaan diri (self confidence) yang sangat penting meningkatkan penampilan di mata internasional. Tidak mengherankan kalau saat itu Indonesia diperhitungkan dalam percaturan politik dunia, sampai-sampai Perdana Menteri Malaysia (waktu itu) Mahathir Mohammad sering dikatakan meniru gaya kepemimpinan Bung Karno. The little Soekarno, begitu orang menyebutnya. Di era kepemimpinan Soeharto pun, Indonesia masih menjadi semacam barometer di antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Pandangan Jakarta masih sangat diperhitungkan oleh anggota ASEAN yang lain. Secara teoretis, harga diri itu akan muncul kalau suatu bangsa mempunyai karakter yang kuat. Karakter itu antara lain terbentuk oleh terpeliharanya budaya bangsa yang kokoh, tidak goyah oleh serangan budaya asing. Itulah sebabnya, Bung Karno dulu selalu meneriakkan pentingnya NATION and CHARACTER BUILDING. Sayang, pembangunan karakter bangsa sekarang sepertinya terabaikan. Padahal justru hal itulah faktor yang sangat diperlukan ketika kita dipaksa harus bersaing bebas dalam persaingan global. Zaman memang telah berubah. Persaingan bebas ternyata membuat kita terseok-seok, karena kita memang mengabaikan faktor penting bernama pembangunan karakter. Menjadi bisa dimengerti kalau kita kalah bersaing dari bangsa lain, bahkan dari tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. Dua negara yang lebih maju dan berhasil mengatasi badai krisis ekonomi. Dengan Temasek Holding, Singapura mampu tumbuh menjadi bangsa yang maju, bahkan membeli berbagai saham perusahaan Indonesia. Begitu pula Malaysia, dengan Khasanah Holdingnya. Mereka berhasil membangun karakter bangsa dan menempatkan diri pada posisi yang tepat dlm persaingan global. Padahal, dua bangsa itu dulu berguru pada Indonesia dalam berbagai sektor. *** Dua kasus akhir-akhir ini; TKW dari Brebes, Ceriyati yang lari dari lantai 15 Tamarind Kondominium Sentul, Kuala Lumpur karena tidak tahan disiksa majikannya dan Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura, adalah potret rendahnya harga diri bangsa kita. Kasus Ceriyati hanya bagian dari terpuruknya bangsa kita yang terseok-seok dalam persaingan global. Demikian pula, DCA yang telah ditandatangani oleh pemerintah padahal berisi barter ekstradisi para koruptor yang lari ke Singapura dengan penggunaan wilayah RI untuk latihan perang oleh Singapura. Dua kasus tersebut terjadi, sama-sama karena tekanan faktor ekonomi. Kasus Ceriyati, dan banyak lagi kasus serupa yang lain, terjadi karena orang-orang seperti dia memang tidak mendapatkan peluang untuk memperbaiki kehidupan di Tanah Air sendiri. Kasus DCA tidak jauh berbeda, juga didorong oleh keinginan memperoleh kembali triliunan rupiah yang dibawa kabur para koruptor, tetapi kompensasinya terlalu mahal. Kita harus merelakan wilayah kedaulatan kita untuk dijadikan tempat perang-perangan oleh tentara asing. Dalam konteks yang lebih luas dan mendasar, dua masalah itu cerminan rendahnya harga diri sebagai bangsa. Kasus-kasus TKW, seperti Ceriyati, telah membuat harga diri kita terperosok di mata internasional, di pandang sebelah mata oleh bangsa lain. Kasus DCA pun begitu, mengakibatkan kita seolah bisa dibeli, bahkan diganggu kedaulatannya. Semua itu karena sudah cukup lama kita mengabaikan pembangunan karakter bangsa, yang terkikis oleh motif ekonomi. Akibatnya, harga diri pun tergadaikan. Maaf, kalau kemudian muncul pertanyaan sinis: quo vadis Indonesia?
- Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis -
Dalam konteks kehidupan berbangsa, harga diri sangat penting, terlebih lagi dalam pergaulan internasional di era global yang penuh penetrasi kapitalistik sekarang ini. Pertanyaannya, masihkah kita memiliki harga diri sebagai bangsa? Atau, harga diri justru sudah sering tergadaikan oleh kepentingan lain yang lebih bersifat finansial-materialistik? Masihkah kita merasa bangga menjadi bangsa Indonesia, yang kata Bung Karno adalah bangsa yang besar, bukan bangsa tempe? Begitu besarnya bangsa kita saat itu, sampai-sampai dapat berkata Go to hell with your aid! kepada AS. Harga diri sebagai bangsa yang besar itu telah terbukti mampu mengusir penjajah Belanda dr Bumi Pertiwi. Harga diri itu juga membangkitkan semangat untuk memersatukan bangsa-bangsa di kawasan Asia Afrika dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung. Tidak berlebihan kalau dikatakan, saat itu kita mampu berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan ketika berhadapan dengan bangsa yang disebut sebagai adikuasa seperti AS dan Uni Soviet, yang masih bersaing tajam dalam era Perang Dingin. *** HARGA diri sbg bangsa melandasi munculnya kepercayaan diri (self confidence) yang sangat penting meningkatkan penampilan di mata internasional. Tidak mengherankan kalau saat itu Indonesia diperhitungkan dalam percaturan politik dunia, sampai-sampai Perdana Menteri Malaysia (waktu itu) Mahathir Mohammad sering dikatakan meniru gaya kepemimpinan Bung Karno. The little Soekarno, begitu orang menyebutnya. Di era kepemimpinan Soeharto pun, Indonesia masih menjadi semacam barometer di antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Pandangan Jakarta masih sangat diperhitungkan oleh anggota ASEAN yang lain. Secara teoretis, harga diri itu akan muncul kalau suatu bangsa mempunyai karakter yang kuat. Karakter itu antara lain terbentuk oleh terpeliharanya budaya bangsa yang kokoh, tidak goyah oleh serangan budaya asing. Itulah sebabnya, Bung Karno dulu selalu meneriakkan pentingnya NATION and CHARACTER BUILDING. Sayang, pembangunan karakter bangsa sekarang sepertinya terabaikan. Padahal justru hal itulah faktor yang sangat diperlukan ketika kita dipaksa harus bersaing bebas dalam persaingan global. Zaman memang telah berubah. Persaingan bebas ternyata membuat kita terseok-seok, karena kita memang mengabaikan faktor penting bernama pembangunan karakter. Menjadi bisa dimengerti kalau kita kalah bersaing dari bangsa lain, bahkan dari tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. Dua negara yang lebih maju dan berhasil mengatasi badai krisis ekonomi. Dengan Temasek Holding, Singapura mampu tumbuh menjadi bangsa yang maju, bahkan membeli berbagai saham perusahaan Indonesia. Begitu pula Malaysia, dengan Khasanah Holdingnya. Mereka berhasil membangun karakter bangsa dan menempatkan diri pada posisi yang tepat dlm persaingan global. Padahal, dua bangsa itu dulu berguru pada Indonesia dalam berbagai sektor. *** Dua kasus akhir-akhir ini; TKW dari Brebes, Ceriyati yang lari dari lantai 15 Tamarind Kondominium Sentul, Kuala Lumpur karena tidak tahan disiksa majikannya dan Defence Cooperation Agreement (DCA) antara Indonesia dan Singapura, adalah potret rendahnya harga diri bangsa kita. Kasus Ceriyati hanya bagian dari terpuruknya bangsa kita yang terseok-seok dalam persaingan global. Demikian pula, DCA yang telah ditandatangani oleh pemerintah padahal berisi barter ekstradisi para koruptor yang lari ke Singapura dengan penggunaan wilayah RI untuk latihan perang oleh Singapura. Dua kasus tersebut terjadi, sama-sama karena tekanan faktor ekonomi. Kasus Ceriyati, dan banyak lagi kasus serupa yang lain, terjadi karena orang-orang seperti dia memang tidak mendapatkan peluang untuk memperbaiki kehidupan di Tanah Air sendiri. Kasus DCA tidak jauh berbeda, juga didorong oleh keinginan memperoleh kembali triliunan rupiah yang dibawa kabur para koruptor, tetapi kompensasinya terlalu mahal. Kita harus merelakan wilayah kedaulatan kita untuk dijadikan tempat perang-perangan oleh tentara asing. Dalam konteks yang lebih luas dan mendasar, dua masalah itu cerminan rendahnya harga diri sebagai bangsa. Kasus-kasus TKW, seperti Ceriyati, telah membuat harga diri kita terperosok di mata internasional, di pandang sebelah mata oleh bangsa lain. Kasus DCA pun begitu, mengakibatkan kita seolah bisa dibeli, bahkan diganggu kedaulatannya. Semua itu karena sudah cukup lama kita mengabaikan pembangunan karakter bangsa, yang terkikis oleh motif ekonomi. Akibatnya, harga diri pun tergadaikan. Maaf, kalau kemudian muncul pertanyaan sinis: quo vadis Indonesia?
- Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis -