Soeharto
KETIKA berbicara di depan anak-anak SMA di Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1988 dalam program Rotary International, saya mendapat pertanyaan ''nakal''. ''Apa perbedaan antara Soeharto dan Ferdinand Marcos? tanya seorang siswa. Sekadar mengelak, saya menjawab, ''Kesamaannya, keduanya menggunakan huruf S. Perbedaannya, huruf S dalam Soeharto ada di depan, sedangkan Marcos di belakang.
Tentu siswa itu merasa tidak puas, kemudian menjawab pertanyaannya sendiri. ''Keduanya nyaris sama, sama-sama korup. Bedanya, Marcos tersingkir dari negerinya dan hidup dalam pengasingan di Hawaii, sedangkan Soeharto tetap berkuasa, katanya. Jawaban siswa itu masuk akal. Baik Soeharto maupun Marcos memang dipersepsi banyak orang sebagai pemimpin yang korup. Keduanya sama-sama dicintai sebagian rakyatnya dan dibenci sebagian rakyat yang lain. Bedanya, Soeharto memang lebih hebat, sehingga mampu bertahan dan tidak perlu hidup di pengasingan seperti mantan Presiden Filipina itu. Belakangan, saya berpikir tentang persamaan positif antara Soeharto dan Marcos. Keduanya sama-sama menjadi pemimpin yang sesungguhnya, yang mampu mengambil keputusan tegas di saat-saat memang harus memutuskan secara tegas. Keputusan itu penting, karena salah satu tugas seorang pemimpin adalah mengambil keputusan, terlepas dari benar-salah atau tepat-tidak tepat keputusan itu. * * * DI Beijing China tahun 1990, seorang sopir taksi mengatakan kepada saya, ''Soeharto no! sambil mengacungkan terbalik ibu jarinya. ''Soekarno yes! sambil kedua jempolnya diacungkan ke atas. ''Soeharto no good, Soekarno good, katanya memberi ilustrasi betapa Soeharto selalu lebih dekat Amerika, sedangkan Soekarno menjalin hubungan baik dengan China, sampai-sampai dulu dikenal Poros Jakarta-Peking. ''Soeharto membunuh banyak orang komunis, sangat kejam, katanya lagi. Ketika itu saya mencoba menetralisasi penilaian pak sopir itu. ''Zamannya kan berbeda. Zaman Soekarno itu zaman politik sebagai panglima, zaman Soeharto zaman ekonomi sebagai panglima. Tentu pendekatannya pun berbeda, kata saya. ''No! No!'' orang itu tetap ngotot pada pendiriannya. ''Saya tetap memilih Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yang hebat. Soeharto hanya menipu rakyat! katanya. Sama seperti Soeharto-Marcos, Soeharto-Soekarno pun sama-sama menunjukkan kepemimpinan yang sesungguhnya. Keduanya berani memutuskan dan mengambil risiko pada waktu yang memang mengharuskan mereka mengambil risiko. Kata orang bijak, hidup adalah pilihan dan keberanian mengambil risiko. Soekarno, Soeharto, Ferdinand Marcos sudah memilih dan mengambil risiko itu. Pemimpin yang tidak berani memilih, memutuskan, dan mengambil risiko justru dipertanyakan kadar kepemimpinannya. * * * DI New York Amerika Serikat, tahun 1989, saya pernah mengalami sendiri pengambilan keputusan yang dilakukan Soeharto. Ketika itu, saya meliput Sidang PBB yang memberikan penghargaan kepada Indonesia dalam program kependudukan. Saya bukan wartawan Sekretariat Negara (Setneg), sehingga harus berangkat sendiri ke New York, tidak bisa ikut bersama rombongan Presiden. Pulang dari New York, saya berusaha keras untuk ikut rombongan, dengan meminta izin kepada Moerdiono (waktu itu Menteri Sekretaris Negara), tapi dia menjawab bahwa yang bisa memutuskan hanya Pak Harto langsung. ''Kalau begitu, tolong sampaikan Bapak (maksudnya: Pak Harto) bahwa saya wartawan Suara Merdeka Semarang Jawa Tengah, korannya Pak Hetami. Dulu ketika menjadi Pangdam IV/Diponegoro, Pak Harto kenal baik dengan Pak Hetami. Pak Harto pasti ingat itu, kata saya. Saya dipersilakan menunggu di tangga pesawat, sementara semua rombongan sudah naik. ''Tunggu aba-aba saya dari atas ya dik. Saya harus minta izin Bapak dulu, kata Moerdiono. Mesin pesawat sudah hidup, ketika akhirnya Moerdiono memberi aba-aba bahwa saya boleh naik. Jadilah saya satu-satunya wartawan bukan wartawan istana, yang belum melalui screening intelijen, tapi bisa ikut satu pesawat dengan rombongan Presiden. Meskipun bisa dianggap sepele, keputusan Pak Harto memberi izin seseorang yang belum diseleksi oleh badan intelijen untuk ikut rombongan, tentu bisa diasumsikan sebagai pengambilan risiko. * * * INDONESIA memerlukan pemimpin-pemimpin seperti Soekarno, Soeharto, Marcos. Terlepas dari segala macam kelemahan, mereka adalah pemimpin yang sudah berani memilih, memutuskan, dan mengambil risiko. Saya kira tidak banyak pemimpin negeri ini yang memiliki keberanian seperti itu. Dengan kata lain, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang siap tidak populer namun benar-benar mengabdikan hidupnya demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Mungkin Pak Harto pun menginginkan kepemimpinan seperti itu, namun bukankah dia juga manusia biasa yang bisa salah, keliru, dan khilaf. Wajar, kalau kemudian sebagian rakyat membencinya karena kesalahan, kekeliruan, dan kekhlilafannya, dan sebagian rakyat mencintainya karena jasa-jasanya membangun negeri ini. Soeharto juga manusia, yang berhak untuk diperlakukan dengan prinsip mikul dhuwur, mendhem jero.
- Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis -
Tentu siswa itu merasa tidak puas, kemudian menjawab pertanyaannya sendiri. ''Keduanya nyaris sama, sama-sama korup. Bedanya, Marcos tersingkir dari negerinya dan hidup dalam pengasingan di Hawaii, sedangkan Soeharto tetap berkuasa, katanya. Jawaban siswa itu masuk akal. Baik Soeharto maupun Marcos memang dipersepsi banyak orang sebagai pemimpin yang korup. Keduanya sama-sama dicintai sebagian rakyatnya dan dibenci sebagian rakyat yang lain. Bedanya, Soeharto memang lebih hebat, sehingga mampu bertahan dan tidak perlu hidup di pengasingan seperti mantan Presiden Filipina itu. Belakangan, saya berpikir tentang persamaan positif antara Soeharto dan Marcos. Keduanya sama-sama menjadi pemimpin yang sesungguhnya, yang mampu mengambil keputusan tegas di saat-saat memang harus memutuskan secara tegas. Keputusan itu penting, karena salah satu tugas seorang pemimpin adalah mengambil keputusan, terlepas dari benar-salah atau tepat-tidak tepat keputusan itu. * * * DI Beijing China tahun 1990, seorang sopir taksi mengatakan kepada saya, ''Soeharto no! sambil mengacungkan terbalik ibu jarinya. ''Soekarno yes! sambil kedua jempolnya diacungkan ke atas. ''Soeharto no good, Soekarno good, katanya memberi ilustrasi betapa Soeharto selalu lebih dekat Amerika, sedangkan Soekarno menjalin hubungan baik dengan China, sampai-sampai dulu dikenal Poros Jakarta-Peking. ''Soeharto membunuh banyak orang komunis, sangat kejam, katanya lagi. Ketika itu saya mencoba menetralisasi penilaian pak sopir itu. ''Zamannya kan berbeda. Zaman Soekarno itu zaman politik sebagai panglima, zaman Soeharto zaman ekonomi sebagai panglima. Tentu pendekatannya pun berbeda, kata saya. ''No! No!'' orang itu tetap ngotot pada pendiriannya. ''Saya tetap memilih Soekarno sebagai pemimpin Indonesia yang hebat. Soeharto hanya menipu rakyat! katanya. Sama seperti Soeharto-Marcos, Soeharto-Soekarno pun sama-sama menunjukkan kepemimpinan yang sesungguhnya. Keduanya berani memutuskan dan mengambil risiko pada waktu yang memang mengharuskan mereka mengambil risiko. Kata orang bijak, hidup adalah pilihan dan keberanian mengambil risiko. Soekarno, Soeharto, Ferdinand Marcos sudah memilih dan mengambil risiko itu. Pemimpin yang tidak berani memilih, memutuskan, dan mengambil risiko justru dipertanyakan kadar kepemimpinannya. * * * DI New York Amerika Serikat, tahun 1989, saya pernah mengalami sendiri pengambilan keputusan yang dilakukan Soeharto. Ketika itu, saya meliput Sidang PBB yang memberikan penghargaan kepada Indonesia dalam program kependudukan. Saya bukan wartawan Sekretariat Negara (Setneg), sehingga harus berangkat sendiri ke New York, tidak bisa ikut bersama rombongan Presiden. Pulang dari New York, saya berusaha keras untuk ikut rombongan, dengan meminta izin kepada Moerdiono (waktu itu Menteri Sekretaris Negara), tapi dia menjawab bahwa yang bisa memutuskan hanya Pak Harto langsung. ''Kalau begitu, tolong sampaikan Bapak (maksudnya: Pak Harto) bahwa saya wartawan Suara Merdeka Semarang Jawa Tengah, korannya Pak Hetami. Dulu ketika menjadi Pangdam IV/Diponegoro, Pak Harto kenal baik dengan Pak Hetami. Pak Harto pasti ingat itu, kata saya. Saya dipersilakan menunggu di tangga pesawat, sementara semua rombongan sudah naik. ''Tunggu aba-aba saya dari atas ya dik. Saya harus minta izin Bapak dulu, kata Moerdiono. Mesin pesawat sudah hidup, ketika akhirnya Moerdiono memberi aba-aba bahwa saya boleh naik. Jadilah saya satu-satunya wartawan bukan wartawan istana, yang belum melalui screening intelijen, tapi bisa ikut satu pesawat dengan rombongan Presiden. Meskipun bisa dianggap sepele, keputusan Pak Harto memberi izin seseorang yang belum diseleksi oleh badan intelijen untuk ikut rombongan, tentu bisa diasumsikan sebagai pengambilan risiko. * * * INDONESIA memerlukan pemimpin-pemimpin seperti Soekarno, Soeharto, Marcos. Terlepas dari segala macam kelemahan, mereka adalah pemimpin yang sudah berani memilih, memutuskan, dan mengambil risiko. Saya kira tidak banyak pemimpin negeri ini yang memiliki keberanian seperti itu. Dengan kata lain, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang siap tidak populer namun benar-benar mengabdikan hidupnya demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Mungkin Pak Harto pun menginginkan kepemimpinan seperti itu, namun bukankah dia juga manusia biasa yang bisa salah, keliru, dan khilaf. Wajar, kalau kemudian sebagian rakyat membencinya karena kesalahan, kekeliruan, dan kekhlilafannya, dan sebagian rakyat mencintainya karena jasa-jasanya membangun negeri ini. Soeharto juga manusia, yang berhak untuk diperlakukan dengan prinsip mikul dhuwur, mendhem jero.
- Adi Ekopriyono, Penulis & Humanis -