''Bapak'' Dalam Politik Indonesia
MASYARAKAT Indonesia saat ini sungguh seperti yatim piatu. Ia adalah masyarakat yang kehilangan hampir dari semua kekayaannya.
Tapi dari semua itu, harta paling mahal adalah hilangnya kepercayaan atas pemimpinnya. Bangsa tanpa pemimpin akan merosot nilainya mendekati barbar. Kebutuhan Indonesiea paling mendesak saat ini adalah pemimpin, bukan sistem. Sistem yang baik telah lama ada. Tapi pemimpin yang baik selalu susah mencarinya. Bibit kebaikan itu bukan tak ada, tapi banyak pemimpin sulit berkelit dari goda. Godaan pemimpin di Indoesaia itu sungguh khas: tarik menarik antara kewibawaan pribadi dan kekuatan sistemnya. Tegasnya, sistem telah cukup tersedia, tapi kharisma pribadi sang pemimpin selalu berdiri di atasnya. Jika pola kekuasaan masih ditandai oleh perseteruan pribadi dan sistem seperti ini, maka jangan ragu untuk mengatakan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat. Perseteruan itu muncul karena beberapa sebab. Pertama, karena negara ini dibentuk tidak cuma dengan heroisme semata tapi juga romantisme. Setelah penjajah terusir, negeri yang masih muda ini lalu jadi berkelebihan soal jumlah pahlawan. Padahal tanpa perang dan penjajahan, banyak pahlawan kehilangan pekerjaan, bingung dan mengalami disorientasi. Ada memang jenis pahlawan yang berhasil menyambung kariernya ke dalam zaman baru. Tapi tidak sedikit pahlawan yang kemudian menjadi murung, uring-uringan dan terserang gegar purna peran. Jika sedang kesal hati, pahlawan jenis ini selalu siap dengan kalimat: ''Kalian, genearsi sekarang, mana tahu beratnya revolusi fisik. Beratnya mendirikan negara.'' Tapi dari kedua golongan itu, paling bermasalah adalah pahlawan seri ke-tiga. Pahlawan ini, karena merasa begitu hebat perjuangannya, begitu besar jasanya bagi negara, lalu pelan-pelan, sadar atau tidak, ingat atau lupa, merasa berhak memiliki negara. Lebih-lebih ketika kepadanya disematkan bermacam-macam sebutan: bapak bangsa, pemimpin besar, jenderal besar.... Maka, meski bermacam-macam model kekuasana kita adopsi, berbagai sistem tata negara kita kreasi, semua itu belum cukup untuk mengatasi kekuatan pribadi ini. Kepribadian pemimpin kita selama ini adalah pribadi seorang bapak, kepala keluarga, dan seterusnya malah menjadi pemilik keluarga itu sendiri. DISTORSI Pada terminolgi ''sebagai pemilik'' itulah kekuasaan mengalami distorsi yang luar biasa. Maka segala sesuatu yang ada di negeri boleh menjadi milik rakyat, tapi rakyat itu adalah anak-anakku, adalah milikku. Sebutan anak-anak itu sendiri bisa mengandung jebakan yang berbahaya. Di Indonesia, anak bagi bapak tak cuma berarti anggota keluarga, tapi juga hak milik. Seperti pada umumnya hak milik, ia tak lebih dari benda yang bisa dibentuk dan difungsikan sesuka hati. Jika benda ini sudah mulai capek, mulai berinisiatif dan mulai bisa membantah, sang bapak pun bisa menyebutnya sebagai pembangkang, murtad, dan subversif. Jadi, kata ''bapak'' itu sungguh mengandung makna eksploitatif, selain makna kasih sayang. Dengan segenap variasinya, naluri 'kebapakan'' ini masih terus menjadi blunder kekuasaan hingga kini. Malah, karena sikap kebapakan yang demikian traumatik, ada pemimpin yang lupa bahwa dirinya sudah jadi pemimpin. Setiap hari ia bisa membuat pernyataan kenegaraan. Setiap kali ia bisa diundang berdiskusi dan berdebat dengan siapa saja. Sementara lawan diskusi duduk ongkang kaki, sang pemimpin duduk takzim model santri. Rakyat yang menonton adegan ini pun sesak hati. Bagaimana bisa rakyat mulai dengan enak tumpang kaki di hadapan pemimpinnya. Ini rakyat yang kurang ajar atau pemimpin yang begitu murah memunculkan diri. Ya, rakyat Indonesia saat ini tidak lagi membutuhkan bapak, tapi pemimpin. Itu sepanjang sebutan bapak berisiko memunculkan aneka distorsi.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”
Tapi dari semua itu, harta paling mahal adalah hilangnya kepercayaan atas pemimpinnya. Bangsa tanpa pemimpin akan merosot nilainya mendekati barbar. Kebutuhan Indonesiea paling mendesak saat ini adalah pemimpin, bukan sistem. Sistem yang baik telah lama ada. Tapi pemimpin yang baik selalu susah mencarinya. Bibit kebaikan itu bukan tak ada, tapi banyak pemimpin sulit berkelit dari goda. Godaan pemimpin di Indoesaia itu sungguh khas: tarik menarik antara kewibawaan pribadi dan kekuatan sistemnya. Tegasnya, sistem telah cukup tersedia, tapi kharisma pribadi sang pemimpin selalu berdiri di atasnya. Jika pola kekuasaan masih ditandai oleh perseteruan pribadi dan sistem seperti ini, maka jangan ragu untuk mengatakan bahwa negara sedang dalam keadaan darurat. Perseteruan itu muncul karena beberapa sebab. Pertama, karena negara ini dibentuk tidak cuma dengan heroisme semata tapi juga romantisme. Setelah penjajah terusir, negeri yang masih muda ini lalu jadi berkelebihan soal jumlah pahlawan. Padahal tanpa perang dan penjajahan, banyak pahlawan kehilangan pekerjaan, bingung dan mengalami disorientasi. Ada memang jenis pahlawan yang berhasil menyambung kariernya ke dalam zaman baru. Tapi tidak sedikit pahlawan yang kemudian menjadi murung, uring-uringan dan terserang gegar purna peran. Jika sedang kesal hati, pahlawan jenis ini selalu siap dengan kalimat: ''Kalian, genearsi sekarang, mana tahu beratnya revolusi fisik. Beratnya mendirikan negara.'' Tapi dari kedua golongan itu, paling bermasalah adalah pahlawan seri ke-tiga. Pahlawan ini, karena merasa begitu hebat perjuangannya, begitu besar jasanya bagi negara, lalu pelan-pelan, sadar atau tidak, ingat atau lupa, merasa berhak memiliki negara. Lebih-lebih ketika kepadanya disematkan bermacam-macam sebutan: bapak bangsa, pemimpin besar, jenderal besar.... Maka, meski bermacam-macam model kekuasana kita adopsi, berbagai sistem tata negara kita kreasi, semua itu belum cukup untuk mengatasi kekuatan pribadi ini. Kepribadian pemimpin kita selama ini adalah pribadi seorang bapak, kepala keluarga, dan seterusnya malah menjadi pemilik keluarga itu sendiri. DISTORSI Pada terminolgi ''sebagai pemilik'' itulah kekuasaan mengalami distorsi yang luar biasa. Maka segala sesuatu yang ada di negeri boleh menjadi milik rakyat, tapi rakyat itu adalah anak-anakku, adalah milikku. Sebutan anak-anak itu sendiri bisa mengandung jebakan yang berbahaya. Di Indonesia, anak bagi bapak tak cuma berarti anggota keluarga, tapi juga hak milik. Seperti pada umumnya hak milik, ia tak lebih dari benda yang bisa dibentuk dan difungsikan sesuka hati. Jika benda ini sudah mulai capek, mulai berinisiatif dan mulai bisa membantah, sang bapak pun bisa menyebutnya sebagai pembangkang, murtad, dan subversif. Jadi, kata ''bapak'' itu sungguh mengandung makna eksploitatif, selain makna kasih sayang. Dengan segenap variasinya, naluri 'kebapakan'' ini masih terus menjadi blunder kekuasaan hingga kini. Malah, karena sikap kebapakan yang demikian traumatik, ada pemimpin yang lupa bahwa dirinya sudah jadi pemimpin. Setiap hari ia bisa membuat pernyataan kenegaraan. Setiap kali ia bisa diundang berdiskusi dan berdebat dengan siapa saja. Sementara lawan diskusi duduk ongkang kaki, sang pemimpin duduk takzim model santri. Rakyat yang menonton adegan ini pun sesak hati. Bagaimana bisa rakyat mulai dengan enak tumpang kaki di hadapan pemimpinnya. Ini rakyat yang kurang ajar atau pemimpin yang begitu murah memunculkan diri. Ya, rakyat Indonesia saat ini tidak lagi membutuhkan bapak, tapi pemimpin. Itu sepanjang sebutan bapak berisiko memunculkan aneka distorsi.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”