Hukum Newton Ketiga
Pelajaran fisika ternyata bisa melalui siapa saja termasuk melalui penjual jagung bakar langganan saya ini. Darinya saya sanggup menghafali secara amat baik Hukum Newton Ketiga, bahwa aksi akan sama besar dengan reaksi tapi bergerak secara berlawanan.
Gampangnya, jika Anda memukul sekuat tenaga, pukulan itu bisa dimanfaatkan lawan untuk menjatuhkan Anda sendiri dengan kekuatan yang sama. Sebagai penggemar jagung bakar, saya telah mencicipi hampir seluruh rasa jagung bakar di kota tempat saya tinggal. Dari seluruh gerai jagung bakar yang ada, kepada pedagang yang satu inilah saya jatuh hati. Pertama, pasti karena rasanya. Jagung bakar langganan saya ini bisa mengolesi mentega seperti orang mengaspal jalan saja. Serba mantap, tak kenal ragu dan royal sekali. Sebuah jagung, setidaknya tiga kali olesan. Olesan pertama, adalah oelsan pembuka, yang biasanya menimbulkan asap khas yang bahkan baunya telah membuat saya tekesima. Olesan kedua adalah peresepan agar mentega itu melesak dengan sempurna, dan olesan ketiga adalah bonus. Berkesempatan mencicipi jagung panas berleleran mentega ini adalah salah satu sebab, kenapa saya masih bangga menjadi rakyat Indonesia. Saya belum pernah berkeliling dunia, tapi pembakaran jagung seperti ini pasti cuma ada di negeri saya. Oya, jika mentega ini belum dianggap cukup, mereka selalu menyertakan mentega ekstra sebagai cadangannya. Tapi bagi saya, yang paling mengesankan adalah bagaimana cara pedagang ini menjaga mutu sambalnya. Saya amat menyukai jagung bakar asin,gurih, pedas. Ada banyak pedagang yang bisa membuat asin, tapi tidak tidak cukup gurih. Banyak yang asin dan gurih tapi kepedasannya datar-datar saja. Banyak yang bisa pedas, tapi kurang asinnya. Tapi pedagang ini, semuanya nyaris sempurna; asin, gurih, dan pedaaass! Aduh, tambah satu lagi: panaaaass! Saya bertanya kenapa. Dan jawabannya ternyata ada pada kesetiaan orang ini menjaga kualitas cabai-cabainya. Saya sering mencuri-curi pandang di ‘’dapurnya’’. Betapa selalu cuma cabai merah yang ia pakai, bukan hijau. Cabai yang selalu tua, bukan muda. Seleksinya amat ketat terhadap cabai-cabai itu, termasuk ketika harga cabai sedang meninggi dan banyak pedagang makanan ramai-ramai membeli cuma cabai muda saja. Orang ini pasti tdiak mengenal Kolonel Sanders, tapi ia mewarisi kepatahuannya menjaga satu hal: bahwa rasa pun harus melewati sebuah prosedur, karenanya standarnya harus dijaga. Maka dalam soal menjaga standar itu, saya menghormatinya seperti saya menghormati KFC. Jadi logis, ketika pedagang jagung lain cuma sibuk termangu menunggu pembeli, pedagang langganan saya ini sibuk dikerubut pembeli. Pedagang lain seperti cuma menampung muntahan pelanggannya belaka. Tapi, bagi saya, soal rasa itu baru separoh dari kemenangannya. Karena setengahnya, kekuatan itu adalah pada diri mereka itu sendiri. Sementara yang lain cuma berjualan seorang diri, kedai ini serempak maju secara suami-istri. Sudah tua umur mereka dan sudah bercucu pula. Jika si istri seorang penyabar, si suami adalah pria yang gemar bercanda. Sebuah gabungan sales yang lengkap. Sebelum Hermawan Kartadjaya mempopulerkan marketing in Venus, orang ini bahkan sudah jauh lebih dulu mempraktekannya. Ia berdagang secara amat emosional, enak, menyentuh dan manusia…. Jika si pembeli adalah serombongan anak muda, dua orang ini akan segera bertindak sebagai bapak-ibu mereka. Jika si pembeli adalah rombongan keluarga, pasangan ini bisa beralih rupa sebagai mertua, kakek-nenek dan orang tua. Jika si pembeli adalah para juragan dengan mobil mewah yang saking mewahnya enggan turun dari mobil mereka, penjual jagung ini langsung menjadi bawahan yang setia. Di gerai jagung bakar ini, hukum Newton ketiga bekerja secara amat nyata. Apa yang kita lempar ternyata adalah apa yang akan kita dapati. Jika begini hukumnya, kenapa kita sering cuma melempar soal-soal yang sering cuma melukai sesama belaka. Maka tidak aneh, jika sering begitu banyak luka di hati kita sendiri.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” -
Gampangnya, jika Anda memukul sekuat tenaga, pukulan itu bisa dimanfaatkan lawan untuk menjatuhkan Anda sendiri dengan kekuatan yang sama. Sebagai penggemar jagung bakar, saya telah mencicipi hampir seluruh rasa jagung bakar di kota tempat saya tinggal. Dari seluruh gerai jagung bakar yang ada, kepada pedagang yang satu inilah saya jatuh hati. Pertama, pasti karena rasanya. Jagung bakar langganan saya ini bisa mengolesi mentega seperti orang mengaspal jalan saja. Serba mantap, tak kenal ragu dan royal sekali. Sebuah jagung, setidaknya tiga kali olesan. Olesan pertama, adalah oelsan pembuka, yang biasanya menimbulkan asap khas yang bahkan baunya telah membuat saya tekesima. Olesan kedua adalah peresepan agar mentega itu melesak dengan sempurna, dan olesan ketiga adalah bonus. Berkesempatan mencicipi jagung panas berleleran mentega ini adalah salah satu sebab, kenapa saya masih bangga menjadi rakyat Indonesia. Saya belum pernah berkeliling dunia, tapi pembakaran jagung seperti ini pasti cuma ada di negeri saya. Oya, jika mentega ini belum dianggap cukup, mereka selalu menyertakan mentega ekstra sebagai cadangannya. Tapi bagi saya, yang paling mengesankan adalah bagaimana cara pedagang ini menjaga mutu sambalnya. Saya amat menyukai jagung bakar asin,gurih, pedas. Ada banyak pedagang yang bisa membuat asin, tapi tidak tidak cukup gurih. Banyak yang asin dan gurih tapi kepedasannya datar-datar saja. Banyak yang bisa pedas, tapi kurang asinnya. Tapi pedagang ini, semuanya nyaris sempurna; asin, gurih, dan pedaaass! Aduh, tambah satu lagi: panaaaass! Saya bertanya kenapa. Dan jawabannya ternyata ada pada kesetiaan orang ini menjaga kualitas cabai-cabainya. Saya sering mencuri-curi pandang di ‘’dapurnya’’. Betapa selalu cuma cabai merah yang ia pakai, bukan hijau. Cabai yang selalu tua, bukan muda. Seleksinya amat ketat terhadap cabai-cabai itu, termasuk ketika harga cabai sedang meninggi dan banyak pedagang makanan ramai-ramai membeli cuma cabai muda saja. Orang ini pasti tdiak mengenal Kolonel Sanders, tapi ia mewarisi kepatahuannya menjaga satu hal: bahwa rasa pun harus melewati sebuah prosedur, karenanya standarnya harus dijaga. Maka dalam soal menjaga standar itu, saya menghormatinya seperti saya menghormati KFC. Jadi logis, ketika pedagang jagung lain cuma sibuk termangu menunggu pembeli, pedagang langganan saya ini sibuk dikerubut pembeli. Pedagang lain seperti cuma menampung muntahan pelanggannya belaka. Tapi, bagi saya, soal rasa itu baru separoh dari kemenangannya. Karena setengahnya, kekuatan itu adalah pada diri mereka itu sendiri. Sementara yang lain cuma berjualan seorang diri, kedai ini serempak maju secara suami-istri. Sudah tua umur mereka dan sudah bercucu pula. Jika si istri seorang penyabar, si suami adalah pria yang gemar bercanda. Sebuah gabungan sales yang lengkap. Sebelum Hermawan Kartadjaya mempopulerkan marketing in Venus, orang ini bahkan sudah jauh lebih dulu mempraktekannya. Ia berdagang secara amat emosional, enak, menyentuh dan manusia…. Jika si pembeli adalah serombongan anak muda, dua orang ini akan segera bertindak sebagai bapak-ibu mereka. Jika si pembeli adalah rombongan keluarga, pasangan ini bisa beralih rupa sebagai mertua, kakek-nenek dan orang tua. Jika si pembeli adalah para juragan dengan mobil mewah yang saking mewahnya enggan turun dari mobil mereka, penjual jagung ini langsung menjadi bawahan yang setia. Di gerai jagung bakar ini, hukum Newton ketiga bekerja secara amat nyata. Apa yang kita lempar ternyata adalah apa yang akan kita dapati. Jika begini hukumnya, kenapa kita sering cuma melempar soal-soal yang sering cuma melukai sesama belaka. Maka tidak aneh, jika sering begitu banyak luka di hati kita sendiri.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” -