Low Trust Society
Low trust society adalah ledekan Barat pada budaya krisis kepercayaan yang hampir selalu melanda bangsa-bangsa terbelakang. Keterbelakangan itu bukan diukur dari tampakan secara infrastruktural tapi lebih pada tampakan kultural.
Itulah kenapa meski Jakarta secara infrastruktur bisa mengaggetkan Barat karena mirip Las Vegas namun secara kultur kota itu tetaplah sebuah rimba belantara. Jakarta adalah representasi dari bermacam-macam ketidak pastian keadaan dalam bungkus modernitas. Ada begitu banyak ketidakpastian hukum meski hukum itu telah ditaruh di meja Mahkamah Agung dan ditangani para hakim agung. Ada ketidak pastian di jalan raya tempat orang boleh main serobot, boleh main klakson kapan saja dan boleh berhenti di mana saja. Jadi, ketidak pastian itu bisa melanda mulai dari tingkat wacana, sampai ke tingkat paling fisik, paling nyata. Dari pendekatan kultural semacam itu, maka jelas, bahwa bangsa ini masih harus rela ditempatkan sebagai bangsa terbelakang. Watak negara semacam itu boleh pula disebut sebagai uncivilized, primitif, atau malah barbar. Jadi sebetulnya, bukan barang aneh jika bangsa semacam itu masih bisa memraktekkan budaya kekerasan baik di level politik, ekonomi maupun sosial. Tradisi kekerasan itu bukan dipicu oleh persoalan politik semata, tapi oleh mentalitas kebudayaan yang umurnya jauh lebih tua dari yang kita duga. Warisan itu telah dihibahkan sangat lama melebihi dari umur Orde Baru dengan angka 32 tahunnnya yang mulai jadi mitos itu. Jauh lebih tua dari Orde Lama tempat batu pertama nation character building konon diletakkan, (sementara Orde itu keburu tamat sebelum bangsa ini benar-benar menemukan karakternya). Jauh lebih tua dari sekadar era kolonial tempat nation character assassination dipraktekkan. Jauh lebih tua dari era raja-raja (dan mari kita batasi ketuaan itu sampai di sini saja untuk melihat kelakuan manusia yang pengaruhnya begitu panjang dan mencengangkan hingga kini, yakni: feodalisme). Feodalisme Feodalisme itu di Prancis mulai ditentang oleh Revolusi Prancis sejak 1799. Di Amerika ia dilawan oleh George Washington padam waktu yang sama. Di Athena ia dilawan oleh Plato jauh sebelumnya (347 Sebelum Masehi). Di Semenanjung Arab, ia dilawan oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7. Malangnya, di Indonesia feodalisme itu bahkan belum berakhir hingga abad 20. Jadi mental feodal itu telah menjadi kanker yang berakar begitu lama dengan berbagai mimikrinya. Kenapa feodalisme penting disoroti? Karena dari sinilah bias kekuasaan memancarkan vibrasinya yang berpengaruh hampir ke semua aspek. Feodalisme itu berawal dari anggapan bahwa raja adalah titisan dewa. Akibatnya timbulah dewanisasi para manusia dalam atribut raja. Kerajaan, meski sudah kontraproduktif masih harus tetap berpenghasilan besar untuk membiayai hidupnya yang boros. Maka tanah-tanah subur di Jawa dan Sumatera bisa digadaikan pada Belanda untuk ditanami tebu yang hasilnya diusung demi membahagiakan Sri Ratu. Hutan-hutan bisa cuma ditukar hanya dengan meriam Kumpeni. Raja, bupati dan camat, meski sebenarnya seorang pengangguran, harus tetap membungkus diri dalam hak-hak istimewa, melestarikan kelas dan menciptakana kehormatannya sendiri dengan berbagai subsidi. Subsidi itu ada di tingkat bahasa, kesenian, tatakrama dan yang paling nyata adalah pajak yang berat bagi rakyat. Maka budaya pemberontakan petani tebu di zaman Belanda, masih sama nilainya dengan demo mahasiswa di Gedung DPR. Jika suatu kali keadaan tenang, ketenangan itu lebih bersanbdar pada ketakutan (fearness) katimbang pada kepatuhan (obedience). Kita tak pernah mengenal presidian semacam George Washington yang menolak memperpanjang jabatnnya demi pelajaran demokrasi. Yang kita kenal adalah presiden-- oleh karena suatu sebab-- lebih suka mensuaka kekuasaannya sedemikian rupa hingga menjadi diktator tanpa terasa. Konservasi kekuasan semacam itulah yang menimbulkan obedience by fearness secara berkepanjnagn hingga sekarang. Gerakan pembredelan, pelarangan dan teror adalah cara yang dianggap efektif untuk mewujudkan cita-cita itu. Maka, kebeseran kita sebagai bangsa selama ini sebetulnya ditopang oleh kekuatan yang sangat manipulatif. Ketika tidak ada lagi hak untuk takut, runtuh pula kewajiban untuk patiuh. Jadi anarkhi yang sekarang marak itu, sebetulnya adalah ekspresi rakyat dalam melayani instingnya primitifnya yang lama. Dalam konteks semacam itu lalu di mana letak kepatuhan hukum? Menjadi jelas sekarang betapa hukum baru kita kenal sebagi kata benda (noun), belum sebagai kata sifat (adjektive). Sebagai isntrumen, hukum telah lama kita kenal tapi belum kita akrabi. Sebabnya jelas, karena pemain hukum itu masih terbatas pada kaum feodal, diktator yang akhirya menjadi para despot. Hukum memang mengalami perkembangan di tingkat terminologi tapi mandeg di tingkat kenyataan sehari-hari. Perkembangan itu misalnya tergambar pada jargon: ini negara hukum, hukum tidak pernah pandang bulu, tapi realitas mengatakan bahwa negara ini belum sepenuhnya negara hukum, dan bahwa hukum di Indonesia masih tergantung pada siapa pemilik ''bulu''. Mitos Saat hukum mengalami subordinasi sedemikian rupa, di mata rakyat ia lalu berubah menjadi sekadar mitos: bahwa hukum cuma milik golongan, bahwa keadilan adalah uang, bahwa hakim, jaksa, polisi dan penjara adalah teror. Maka pandangan hukum manusia Indonesia atas hukumnya adalah pandangan seroang pengidap paranoia. Seorang paranoid adalah pribadi yang hidup dengan ketakutan, curiga dan trauma sekaligus. Ia akan bergerak mirip bandul pendulum, hinggap dari ekstremitas satu menuju ekstremitas lain. Jika kalah ia akan menjadi pihak yang apatis dan putus asa, jika bertahan ia akan menjadi seorang psikopat. Dua ekstrem itu jika digabungkan, disulut api dan dipakai sebagai tunggangan politik misalnya, hasilnya akan luar biasa. Investor kerusuhan bisa membayar orang untuk mati dengan harga amat murah. Jadi impian tentang demokrasi yang tengah kita perjuangkan saat ini, masih setara dengan impian Palto saat menulis Republik) sekitar 50 abad yang lalu. Yakni demokrasi yang masih terjerat blunder kebudayaan feodalistik, sentralitisk dan oligpolik dalam soal kekuasaan. Inilah kenapa demokrasi Platonian masih menjadi kemewahan karena ia butuh syara berat yakni masyarakat egalitarian. Ketika harus menyebut soal egalitarianisme itulah kita justru masih boleh optimis, bahwa dari remah-remah kekacuan ini kita maish bisa melihat sebuah awal. Tiba-tiba saja manusia Indonesia menjadi sangat egaliter. Inilah babak baru zaman kesejajaran. Inilah era ''semua boleh mengontrol semua'', sebuah watak demokrasi meski masih dalam kelakuanya yang paling purba. Jadi wajar jika kepurbaan itu akan membawa serangkaian ujian yang berat dan melelahkan. Maka bangsa ini harus terus mensugesti dirinya untuk membawa demokrasi purbanya itu menjadi lebih menarik dan baru. Dari keadaan ''semua boleh mengontrol semua'' akan beranjak ke etape berikutnya: ''semua menugaskan sebagian untuk mengontrol semua'', dalam arti sebenarnya. Kenyataan terakhir itulah yang diperagakan di Amerika saat MA negara tersebut memutuksan bahwa penghitungan suara pemilu adalah sah. Bush Junior jadi presiden dan Al Gore kalah. Amerika menurut dan negeri itu kembali berjalan seperti biasa. Jadi semua kekacauan ini bisa dimampatkan dalam satu kata saja yakni trust. Tapi betapa satu kata itu membutuhkan kesejarahan panjang yang kita belum sanggup menguraikannya bahkan sampai makalah ini diturunkan.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”
Itulah kenapa meski Jakarta secara infrastruktur bisa mengaggetkan Barat karena mirip Las Vegas namun secara kultur kota itu tetaplah sebuah rimba belantara. Jakarta adalah representasi dari bermacam-macam ketidak pastian keadaan dalam bungkus modernitas. Ada begitu banyak ketidakpastian hukum meski hukum itu telah ditaruh di meja Mahkamah Agung dan ditangani para hakim agung. Ada ketidak pastian di jalan raya tempat orang boleh main serobot, boleh main klakson kapan saja dan boleh berhenti di mana saja. Jadi, ketidak pastian itu bisa melanda mulai dari tingkat wacana, sampai ke tingkat paling fisik, paling nyata. Dari pendekatan kultural semacam itu, maka jelas, bahwa bangsa ini masih harus rela ditempatkan sebagai bangsa terbelakang. Watak negara semacam itu boleh pula disebut sebagai uncivilized, primitif, atau malah barbar. Jadi sebetulnya, bukan barang aneh jika bangsa semacam itu masih bisa memraktekkan budaya kekerasan baik di level politik, ekonomi maupun sosial. Tradisi kekerasan itu bukan dipicu oleh persoalan politik semata, tapi oleh mentalitas kebudayaan yang umurnya jauh lebih tua dari yang kita duga. Warisan itu telah dihibahkan sangat lama melebihi dari umur Orde Baru dengan angka 32 tahunnnya yang mulai jadi mitos itu. Jauh lebih tua dari Orde Lama tempat batu pertama nation character building konon diletakkan, (sementara Orde itu keburu tamat sebelum bangsa ini benar-benar menemukan karakternya). Jauh lebih tua dari sekadar era kolonial tempat nation character assassination dipraktekkan. Jauh lebih tua dari era raja-raja (dan mari kita batasi ketuaan itu sampai di sini saja untuk melihat kelakuan manusia yang pengaruhnya begitu panjang dan mencengangkan hingga kini, yakni: feodalisme). Feodalisme Feodalisme itu di Prancis mulai ditentang oleh Revolusi Prancis sejak 1799. Di Amerika ia dilawan oleh George Washington padam waktu yang sama. Di Athena ia dilawan oleh Plato jauh sebelumnya (347 Sebelum Masehi). Di Semenanjung Arab, ia dilawan oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7. Malangnya, di Indonesia feodalisme itu bahkan belum berakhir hingga abad 20. Jadi mental feodal itu telah menjadi kanker yang berakar begitu lama dengan berbagai mimikrinya. Kenapa feodalisme penting disoroti? Karena dari sinilah bias kekuasaan memancarkan vibrasinya yang berpengaruh hampir ke semua aspek. Feodalisme itu berawal dari anggapan bahwa raja adalah titisan dewa. Akibatnya timbulah dewanisasi para manusia dalam atribut raja. Kerajaan, meski sudah kontraproduktif masih harus tetap berpenghasilan besar untuk membiayai hidupnya yang boros. Maka tanah-tanah subur di Jawa dan Sumatera bisa digadaikan pada Belanda untuk ditanami tebu yang hasilnya diusung demi membahagiakan Sri Ratu. Hutan-hutan bisa cuma ditukar hanya dengan meriam Kumpeni. Raja, bupati dan camat, meski sebenarnya seorang pengangguran, harus tetap membungkus diri dalam hak-hak istimewa, melestarikan kelas dan menciptakana kehormatannya sendiri dengan berbagai subsidi. Subsidi itu ada di tingkat bahasa, kesenian, tatakrama dan yang paling nyata adalah pajak yang berat bagi rakyat. Maka budaya pemberontakan petani tebu di zaman Belanda, masih sama nilainya dengan demo mahasiswa di Gedung DPR. Jika suatu kali keadaan tenang, ketenangan itu lebih bersanbdar pada ketakutan (fearness) katimbang pada kepatuhan (obedience). Kita tak pernah mengenal presidian semacam George Washington yang menolak memperpanjang jabatnnya demi pelajaran demokrasi. Yang kita kenal adalah presiden-- oleh karena suatu sebab-- lebih suka mensuaka kekuasaannya sedemikian rupa hingga menjadi diktator tanpa terasa. Konservasi kekuasan semacam itulah yang menimbulkan obedience by fearness secara berkepanjnagn hingga sekarang. Gerakan pembredelan, pelarangan dan teror adalah cara yang dianggap efektif untuk mewujudkan cita-cita itu. Maka, kebeseran kita sebagai bangsa selama ini sebetulnya ditopang oleh kekuatan yang sangat manipulatif. Ketika tidak ada lagi hak untuk takut, runtuh pula kewajiban untuk patiuh. Jadi anarkhi yang sekarang marak itu, sebetulnya adalah ekspresi rakyat dalam melayani instingnya primitifnya yang lama. Dalam konteks semacam itu lalu di mana letak kepatuhan hukum? Menjadi jelas sekarang betapa hukum baru kita kenal sebagi kata benda (noun), belum sebagai kata sifat (adjektive). Sebagai isntrumen, hukum telah lama kita kenal tapi belum kita akrabi. Sebabnya jelas, karena pemain hukum itu masih terbatas pada kaum feodal, diktator yang akhirya menjadi para despot. Hukum memang mengalami perkembangan di tingkat terminologi tapi mandeg di tingkat kenyataan sehari-hari. Perkembangan itu misalnya tergambar pada jargon: ini negara hukum, hukum tidak pernah pandang bulu, tapi realitas mengatakan bahwa negara ini belum sepenuhnya negara hukum, dan bahwa hukum di Indonesia masih tergantung pada siapa pemilik ''bulu''. Mitos Saat hukum mengalami subordinasi sedemikian rupa, di mata rakyat ia lalu berubah menjadi sekadar mitos: bahwa hukum cuma milik golongan, bahwa keadilan adalah uang, bahwa hakim, jaksa, polisi dan penjara adalah teror. Maka pandangan hukum manusia Indonesia atas hukumnya adalah pandangan seroang pengidap paranoia. Seorang paranoid adalah pribadi yang hidup dengan ketakutan, curiga dan trauma sekaligus. Ia akan bergerak mirip bandul pendulum, hinggap dari ekstremitas satu menuju ekstremitas lain. Jika kalah ia akan menjadi pihak yang apatis dan putus asa, jika bertahan ia akan menjadi seorang psikopat. Dua ekstrem itu jika digabungkan, disulut api dan dipakai sebagai tunggangan politik misalnya, hasilnya akan luar biasa. Investor kerusuhan bisa membayar orang untuk mati dengan harga amat murah. Jadi impian tentang demokrasi yang tengah kita perjuangkan saat ini, masih setara dengan impian Palto saat menulis Republik) sekitar 50 abad yang lalu. Yakni demokrasi yang masih terjerat blunder kebudayaan feodalistik, sentralitisk dan oligpolik dalam soal kekuasaan. Inilah kenapa demokrasi Platonian masih menjadi kemewahan karena ia butuh syara berat yakni masyarakat egalitarian. Ketika harus menyebut soal egalitarianisme itulah kita justru masih boleh optimis, bahwa dari remah-remah kekacuan ini kita maish bisa melihat sebuah awal. Tiba-tiba saja manusia Indonesia menjadi sangat egaliter. Inilah babak baru zaman kesejajaran. Inilah era ''semua boleh mengontrol semua'', sebuah watak demokrasi meski masih dalam kelakuanya yang paling purba. Jadi wajar jika kepurbaan itu akan membawa serangkaian ujian yang berat dan melelahkan. Maka bangsa ini harus terus mensugesti dirinya untuk membawa demokrasi purbanya itu menjadi lebih menarik dan baru. Dari keadaan ''semua boleh mengontrol semua'' akan beranjak ke etape berikutnya: ''semua menugaskan sebagian untuk mengontrol semua'', dalam arti sebenarnya. Kenyataan terakhir itulah yang diperagakan di Amerika saat MA negara tersebut memutuksan bahwa penghitungan suara pemilu adalah sah. Bush Junior jadi presiden dan Al Gore kalah. Amerika menurut dan negeri itu kembali berjalan seperti biasa. Jadi semua kekacauan ini bisa dimampatkan dalam satu kata saja yakni trust. Tapi betapa satu kata itu membutuhkan kesejarahan panjang yang kita belum sanggup menguraikannya bahkan sampai makalah ini diturunkan.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut”