Penjual Panci di Pagi Hari
Kaget sekali saya demi mengetahui istri sudah mengabulkan permintaan ini: esok hari, akan ada demo masak di rumah kami, dari seorang yang mengaku karyawan magang sebuah hotel.
Bukan apa-apa, saya adalah orang yang sudah kenyang merasa tertipu oleh bermacam taktik dagang dengan memanfaatkan rasa iba sebagai strateginya. Persaingan sudah semakin berdarah-daeah, dan cara menjual harus sedemikian rupa kalau perlu harus melesak hingga ceruk-ceruk rumah. Pernah karena sebuah diplomasi yang keliru saya menerima penawaran sales penyedot debu sekedar untuk berdemo. ‘’Cuma demo saja. Tak beli tak apa-apa,’’ katanya. Tetapi begitu ada izin sedikit saja, penyedot debu ini langsung menggila. Apa saja disedotnya. Dicegah ia tak bisa. Keringat segera berleleran memenuhi baju dan dasinya. Semakin dicegah, semakin dia meggila. ‘’Lihat ini rumah Bapak. Penyakit di mana-mana!’’ katanya sambil menjelajahi dapur, kamar, kursi, meja, aneka lubang, sembarang kolong, pokoknya apa saja. Sambil menyedot tak henti-hentinya ia menebar ancaman betapa rumah saya tak lebih dari peternakan bakteri. Setelah akhirnya ia kelelahan, orang ini masih menyempatkan membuka segepok album yang isinya adalah foto bakteri-bakteri ganas yang telah dibesarkan ribuan kali. Bentuknya lebih ngeri dibanding Leak Bali. Sungguh ini adalah ancaman yang nyata bagi kami: keringat telah berleleran, debu seluruh rumah telah disedoti, seluruh rumah telah dicitrakan penuh bakteri, jadi ketemunya kami tetap dipaksa untuk membeli. Tetapi semakin dia memaksa hanya makin membuat kemarahan kami. Demi melihat keadaan terus memburuk sales ini terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya. Ia tidak lagi berjualan keringat, tidak lagi berjualan bakteri melainkan menjual sikap putus asa. ‘’Tolonglah. Sudah seminggu penyedot ini tak ada yang laku. Anak saya sudah dua,. Butuh uang sekolah semua,’’ katanya terakhir kali. Remuk mestinya hati saya mendengar diplomasi ini. Tetapi jika cuma menuruti kata hati yang remuk pasti ganti anggaran tumah tangga kami. Maka betapapun iba hati ini, penawaran itu kami tolak juga. Lebih sekadar persoalan anggaran, kami menolak untuk diintimidasi oleh belas kasihan yang kejam ini. Tetapi persoalanya, tidak mudah melihat sales yang sudah berkeringat itu keluar begitu saja dari rumah saya dengan tangan hampa. Muka yang gagal, kalah dan tertolak, adalah muka yang paling tidak artistik di dunia dan jujur saja ekspresi itu menyiksa hati saya. Saya bahkan masih mengingat wajah sales yang sengsara itu hingga kini. Menerima tawarannya adalah konyol, menolak tak tega. Sungguh dilema yang kami tak ingin mengulanginya. Jadi paling aman ialah mencegah penawaran serupa bahkan sebelum orang itu menginjak halaman rumah saya. Maka demi mendapati istri hendak mengulangi kekonyolan yang sama, marah benar sebetulnya saya. Saya ancam istri sejadi-jadinya. ‘’Awas jika sampai terperdaya!’’ gertak saya. Apalagi benar, ketika pendemo masakan itu datang, dia bukanlah karyawati magang, melainkan benar-benar seorang pedagang. Ia hendak menteror kami dengan cara-cara yang sama: memasak dulu, memaksa kemudian. ‘’Lagipula ini bukan sekadar urusan panci. Ini soal penganiayaan!’’ kata saya uring-uringan. Ya, mendatangi rumah dengan memaksa, mengobok-obok dapur, menyita waktu, mengganggu privasi, meminta kami berbelaja, lalu akhirnya memaksa kami membeli panci… betapa panjang daftar kekejaman penjual ini. Maka kepada istrilah saya melampiaskan seluruh kemarahan. Kini istri saya terdesak dari dua jurusan. Maka yang bisa ia lakukan adalah diam, pasrah, menyerah. Dan hanya kepasrahannya yang membuat kemarahan saya mereda. Maka demo celaka itu akhirnya saya biarkan berjalan: ‘’Asal janga terperdaya!’’ pesan saya galak. Singkat cerita, panci penggorengan yang dipromosikan itu pun mulai beraksi. Mengggoreng ayam dengan tepung dan minyak goreng tercurah banyak sekali. Akibatnya ajaib: tepung-tepung ayam itu melepuh besaaaar sekali, tampak gurih sekali dan pagi sudah menjelang siang sementara belum sarapan pagi. Tepung yang melepuh itu, dengan lapar yang mulai mendera lalu mendatangkan konflik yang aneh. Saya memang menyesali keputusan istri untuk mendatangkan demo ini. Tetapi setelah pedagang panci yang malang itu pergi tanpa dagangnnya terbeli, sulit bagi saya untuk tidak tergoda pada tepung besar itu. Enak sekali walau harus makan dengan tatapan yang menyiksa dari istri. Aduh, di dunia ini, ternyata tidak ada keputusan yang benar-benar keliru seluruhnya. Jika istri tidak mengulagi kesalahannya, mustahil saya makan ayam goreng seenak ini.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” -
Bukan apa-apa, saya adalah orang yang sudah kenyang merasa tertipu oleh bermacam taktik dagang dengan memanfaatkan rasa iba sebagai strateginya. Persaingan sudah semakin berdarah-daeah, dan cara menjual harus sedemikian rupa kalau perlu harus melesak hingga ceruk-ceruk rumah. Pernah karena sebuah diplomasi yang keliru saya menerima penawaran sales penyedot debu sekedar untuk berdemo. ‘’Cuma demo saja. Tak beli tak apa-apa,’’ katanya. Tetapi begitu ada izin sedikit saja, penyedot debu ini langsung menggila. Apa saja disedotnya. Dicegah ia tak bisa. Keringat segera berleleran memenuhi baju dan dasinya. Semakin dicegah, semakin dia meggila. ‘’Lihat ini rumah Bapak. Penyakit di mana-mana!’’ katanya sambil menjelajahi dapur, kamar, kursi, meja, aneka lubang, sembarang kolong, pokoknya apa saja. Sambil menyedot tak henti-hentinya ia menebar ancaman betapa rumah saya tak lebih dari peternakan bakteri. Setelah akhirnya ia kelelahan, orang ini masih menyempatkan membuka segepok album yang isinya adalah foto bakteri-bakteri ganas yang telah dibesarkan ribuan kali. Bentuknya lebih ngeri dibanding Leak Bali. Sungguh ini adalah ancaman yang nyata bagi kami: keringat telah berleleran, debu seluruh rumah telah disedoti, seluruh rumah telah dicitrakan penuh bakteri, jadi ketemunya kami tetap dipaksa untuk membeli. Tetapi semakin dia memaksa hanya makin membuat kemarahan kami. Demi melihat keadaan terus memburuk sales ini terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya. Ia tidak lagi berjualan keringat, tidak lagi berjualan bakteri melainkan menjual sikap putus asa. ‘’Tolonglah. Sudah seminggu penyedot ini tak ada yang laku. Anak saya sudah dua,. Butuh uang sekolah semua,’’ katanya terakhir kali. Remuk mestinya hati saya mendengar diplomasi ini. Tetapi jika cuma menuruti kata hati yang remuk pasti ganti anggaran tumah tangga kami. Maka betapapun iba hati ini, penawaran itu kami tolak juga. Lebih sekadar persoalan anggaran, kami menolak untuk diintimidasi oleh belas kasihan yang kejam ini. Tetapi persoalanya, tidak mudah melihat sales yang sudah berkeringat itu keluar begitu saja dari rumah saya dengan tangan hampa. Muka yang gagal, kalah dan tertolak, adalah muka yang paling tidak artistik di dunia dan jujur saja ekspresi itu menyiksa hati saya. Saya bahkan masih mengingat wajah sales yang sengsara itu hingga kini. Menerima tawarannya adalah konyol, menolak tak tega. Sungguh dilema yang kami tak ingin mengulanginya. Jadi paling aman ialah mencegah penawaran serupa bahkan sebelum orang itu menginjak halaman rumah saya. Maka demi mendapati istri hendak mengulangi kekonyolan yang sama, marah benar sebetulnya saya. Saya ancam istri sejadi-jadinya. ‘’Awas jika sampai terperdaya!’’ gertak saya. Apalagi benar, ketika pendemo masakan itu datang, dia bukanlah karyawati magang, melainkan benar-benar seorang pedagang. Ia hendak menteror kami dengan cara-cara yang sama: memasak dulu, memaksa kemudian. ‘’Lagipula ini bukan sekadar urusan panci. Ini soal penganiayaan!’’ kata saya uring-uringan. Ya, mendatangi rumah dengan memaksa, mengobok-obok dapur, menyita waktu, mengganggu privasi, meminta kami berbelaja, lalu akhirnya memaksa kami membeli panci… betapa panjang daftar kekejaman penjual ini. Maka kepada istrilah saya melampiaskan seluruh kemarahan. Kini istri saya terdesak dari dua jurusan. Maka yang bisa ia lakukan adalah diam, pasrah, menyerah. Dan hanya kepasrahannya yang membuat kemarahan saya mereda. Maka demo celaka itu akhirnya saya biarkan berjalan: ‘’Asal janga terperdaya!’’ pesan saya galak. Singkat cerita, panci penggorengan yang dipromosikan itu pun mulai beraksi. Mengggoreng ayam dengan tepung dan minyak goreng tercurah banyak sekali. Akibatnya ajaib: tepung-tepung ayam itu melepuh besaaaar sekali, tampak gurih sekali dan pagi sudah menjelang siang sementara belum sarapan pagi. Tepung yang melepuh itu, dengan lapar yang mulai mendera lalu mendatangkan konflik yang aneh. Saya memang menyesali keputusan istri untuk mendatangkan demo ini. Tetapi setelah pedagang panci yang malang itu pergi tanpa dagangnnya terbeli, sulit bagi saya untuk tidak tergoda pada tepung besar itu. Enak sekali walau harus makan dengan tatapan yang menyiksa dari istri. Aduh, di dunia ini, ternyata tidak ada keputusan yang benar-benar keliru seluruhnya. Jika istri tidak mengulagi kesalahannya, mustahil saya makan ayam goreng seenak ini.
- Prie GS, Budayawan, Penulis Buku Best Seller “Hidup Bukan Hanya Urusan Perut” -