JRU Ajak Santri Berwirausaha
Semangat berwirausaha kini telah sampai ke ranah pesantren. JRU berkesempatan untuk menangkap gairah wirausaha para santri dengan menjadi salah satu narasumber dalam Lokakarya & Workshop Wirasantri Mandiri. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan KH Bisri Mustofa bersama dengan GP Ansor dan BPD Hipmi Jawa Tengah tersebut menjadi sebuah estafet semangat kewirausahaan yang universal. Simak penuturan relawan JRU, Shanty Rosalia dalam reportase berikut ini:
Sabtu (28/1) lalu adalah sebuah hari khusus untuk saya. Sabtu pagi kami sudah berkemas untuk bersiap melangkahkan kaki ke sebuah pesisir di timur Jawa Tengah yang jaraknya sekitar 60 km dari Semarang. Ya, itulah Rembang. Kota kecil yang menjadi tempat penghabisan RA Kartini. Lokasi yang kami tuju mantap: Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang. Pondok pesantren yang disebut di laman internet resminya didirikan sejak 1945 tersebut adalah sebuah pondok pesantren di mana KH A. Mustofa Bisri menjadi pengasuh seniornya. Pondok pesantren salaf ini merupakan salah satu pondok pesantren terkemuka di Jawa Tengah saat ini.
Saya tak sendiri. Ada 4 orang relawan JRU lainnya yang menemani perjalanan kali ini. Ada Arief Yudith, Heruningsih Kusumaningrum, Adhimmas Nugroho, dan Agung Sulistiarto yang menemani saya. Perjalanan ini bisa menjadi yang pertama untuk kami semua. Perjalanan vibrasi kewirausahaan yang selama ini kami lakukan belum pernah sekalipun menyentuh dunia pesantren. Dunia pesantren identik dengan mereka yang mendedikasikan waktunya untuk mendalami ilmu agama dan ilmu di sekitarnya. Stigma ini semakin membesar di pesantren salaf yang masih menganut prinsip-prinsip yang sangat konservatif bahkan cenderung ortodoks.
Sesampainya di pondok pesantren yang berada di pusat kota Rembang tersebut, atmosfer pesantren yang tradisional masih sangat kental. Budaya pesantren yang sangat kental menjunjung senioritas sangat kental terasa. Tetapi, di samping itu semua, sebuah kehangatan khas masyarakat Jawa kami rasakan seutuhnya. Tawaran senyum persahabatan dan ketulusan menyapa kami semua siang itu. Tawaran itu semakin terasa ketika kami masuk di dalam ruang pelatihan. Peserta lokakarya yang juga menjadi awal bagi BPD Hipmi Jawa Tengah untuk menggerakkan kewirausahaan di pesantren tersebut terserak dari puluhan pesantren lainnya di eks Karesidenan Pati. Semuang bersemangat dan antusias.
Tidak banyak yang bisa kami bagi di saat itu. Kami hanya berbagi apa yang kami telah jalani selama ini. Menebarkan vibrasi jika berbisnis itu harus dimulai dari diri sendiri. Seberapa besar kesuksesan akan direngguh akan ekuivalen dengan komitmen diri sendiri untuk bisnis tersebut. Belajar berbisnis akan sangat bersinggungan dengan kecerdasan kedayatahanan kita. Heruningsih yang akrab dipanggil Nining berbagi kisah pendampingannya kepada kawan-kawan Wiramuda yang telah 3 tahun menapaki jalan bersama kami. Mereka adalah contoh nyata bagaimana 80% keberhasilan dalam dunia bisnis ditentukan oleh karakter. 20% lainnya adalah kompetensi yang dengan mudah bisa kita pelajari melalui proses pendampingan.
Sore telah menjelang. Saatnya kami berjalan pulang ke Semarang. Tetapi silaturahmi siang tersebut terus bersambut. Pertanyaan terus mengalir sejak awal kehadiran kami. Kami memang memilih untuk berdiskusi saja, memetakan apa yang mereka inginkan dari kami. Ternyata itu tidak cukup, hingga kepergian kami dari pesantren tersebut, kami terus saja didekati oleh peserta yang masih ingin berdiskusi. Ternyata, semangat wirausaha mereka sangat tinggi. Mereka benar-benar dalam sebuah “pesta pemikiran”… Semoga semangat ini terus senantiasa terkembang. Sekali layar terkembang pantang diturunkan!
Sabtu (28/1) lalu adalah sebuah hari khusus untuk saya. Sabtu pagi kami sudah berkemas untuk bersiap melangkahkan kaki ke sebuah pesisir di timur Jawa Tengah yang jaraknya sekitar 60 km dari Semarang. Ya, itulah Rembang. Kota kecil yang menjadi tempat penghabisan RA Kartini. Lokasi yang kami tuju mantap: Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang. Pondok pesantren yang disebut di laman internet resminya didirikan sejak 1945 tersebut adalah sebuah pondok pesantren di mana KH A. Mustofa Bisri menjadi pengasuh seniornya. Pondok pesantren salaf ini merupakan salah satu pondok pesantren terkemuka di Jawa Tengah saat ini.
Saya tak sendiri. Ada 4 orang relawan JRU lainnya yang menemani perjalanan kali ini. Ada Arief Yudith, Heruningsih Kusumaningrum, Adhimmas Nugroho, dan Agung Sulistiarto yang menemani saya. Perjalanan ini bisa menjadi yang pertama untuk kami semua. Perjalanan vibrasi kewirausahaan yang selama ini kami lakukan belum pernah sekalipun menyentuh dunia pesantren. Dunia pesantren identik dengan mereka yang mendedikasikan waktunya untuk mendalami ilmu agama dan ilmu di sekitarnya. Stigma ini semakin membesar di pesantren salaf yang masih menganut prinsip-prinsip yang sangat konservatif bahkan cenderung ortodoks.
Sesampainya di pondok pesantren yang berada di pusat kota Rembang tersebut, atmosfer pesantren yang tradisional masih sangat kental. Budaya pesantren yang sangat kental menjunjung senioritas sangat kental terasa. Tetapi, di samping itu semua, sebuah kehangatan khas masyarakat Jawa kami rasakan seutuhnya. Tawaran senyum persahabatan dan ketulusan menyapa kami semua siang itu. Tawaran itu semakin terasa ketika kami masuk di dalam ruang pelatihan. Peserta lokakarya yang juga menjadi awal bagi BPD Hipmi Jawa Tengah untuk menggerakkan kewirausahaan di pesantren tersebut terserak dari puluhan pesantren lainnya di eks Karesidenan Pati. Semuang bersemangat dan antusias.
Tidak banyak yang bisa kami bagi di saat itu. Kami hanya berbagi apa yang kami telah jalani selama ini. Menebarkan vibrasi jika berbisnis itu harus dimulai dari diri sendiri. Seberapa besar kesuksesan akan direngguh akan ekuivalen dengan komitmen diri sendiri untuk bisnis tersebut. Belajar berbisnis akan sangat bersinggungan dengan kecerdasan kedayatahanan kita. Heruningsih yang akrab dipanggil Nining berbagi kisah pendampingannya kepada kawan-kawan Wiramuda yang telah 3 tahun menapaki jalan bersama kami. Mereka adalah contoh nyata bagaimana 80% keberhasilan dalam dunia bisnis ditentukan oleh karakter. 20% lainnya adalah kompetensi yang dengan mudah bisa kita pelajari melalui proses pendampingan.
Sore telah menjelang. Saatnya kami berjalan pulang ke Semarang. Tetapi silaturahmi siang tersebut terus bersambut. Pertanyaan terus mengalir sejak awal kehadiran kami. Kami memang memilih untuk berdiskusi saja, memetakan apa yang mereka inginkan dari kami. Ternyata itu tidak cukup, hingga kepergian kami dari pesantren tersebut, kami terus saja didekati oleh peserta yang masih ingin berdiskusi. Ternyata, semangat wirausaha mereka sangat tinggi. Mereka benar-benar dalam sebuah “pesta pemikiran”… Semoga semangat ini terus senantiasa terkembang. Sekali layar terkembang pantang diturunkan!