Menjemput Anak
Ada pula nilai yang agak serius, misalnya soal pendidikan. Sebetulnya berat sekali mengantar dan menjemput anak itu setiap kali karena kerepotan teknisnya terus meninggi dari hari ke hari. Lalu lintas makin tambah padat saja dan tempat parkir makin tak ada. Setelah repot mengantar, lalu repot membiayai karena biaya sekolah juga makin meninggi.
Sudah lama menjemput anak pulang sekolah saya masukkan sebagai bagian penting kegiatan begitu waktunya tersedia. Makin lama saya makin menikmati pekerjaan ini karena kelengkapan nilainya. Ada nilai senang-senang belaka, seperti misalnya ketemu temanyang di antaranya memang membuat saya senang memandangnya. Ada yang karena kecantikannya, ada yang karena kecerdasannya, ada yang karena naluri keibuannya yang mengesankan saat menuntun putra-putri mereka.
Ada pula nilai yang agak serius, misalnya soal pendidikan. Sebetulnya berat sekali mengantar dan menjemput anak itu setiap kali karena kerepotan teknisnya terus meninggi dari hari ke hari. Lalu lintas makin tambah padat saja dan tempat parkir makin tak ada. Setelah repot mengantar, lalu repot membiayai karena biaya sekolah juga makin meninggi.
Tapi serepot-repotnya mengantar dan membiayai, pasti jauh lebih repot lagi adalah anak-anak itu sendiri sebagai pihak yang harus menjalani. Tas mereka berat sekali, pelajaran mereka banyak sekali dan jam sekolah mereka panjang sekali. Jam yang panjang, di dalam tahun yang lama, jadi betapa lelahnya. Apa jadinya jika sudah begini berlelah-lelah, bermahal-mahal dan berlama-lama, cuma keliru kurikulumnya.
Karenanya sambil mengamati anak-anak dengan tas punggung yang berat itu, saya membayangkan sekolah dengan rasa cemas dan rindu. Rindu, bahwa hingga kini belum tergantikan. Tetapi apa jadinya, jika lembaga sepenitng ini, misalnya, harus menanggung setidaknya dua soal prinsipil. Pertama metodologi, kedua kejujuran.
Soal yang pertama itu saja sampai sekarang belum rampung diperdebatkan. Bagi para awam mudah saja mengujinya, apapun alasannya, sepanjang masih rendah produktivitas sebuah bangsa,i bagi masa depan mereka. Dan ini yang terpenting, adakah anak-anak telah menjadi objek industri dengan pendidikan sebagi kedoknya?
Karena jika cuma soal metodologi, jika cuma soal kurikulum yang keliru, tidak perlu ada yang ditakutkan sepanjang semua itu sekadar risiko dari sebuah pembelajaran. Kekeliruan bagi sebuah upaya, adalah kewajaran. Jauh bedanya, dengan kekeliruan hasil dari sebuah ketidak jujuran.
Celakanya di Indonesia ini, ketidak jujuran itu bisa merambah ke mana-mana bahkan sampai ke pendidikan dan peribadatan. Karenanya, saya sempatkan berdoa: semoga sekolah, tempat anak-anak kita menggadaikan waktunya yang panjang itu, dijaga dari aneka perilaku yang tidak pada tempatnya.
Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Sudah lama menjemput anak pulang sekolah saya masukkan sebagai bagian penting kegiatan begitu waktunya tersedia. Makin lama saya makin menikmati pekerjaan ini karena kelengkapan nilainya. Ada nilai senang-senang belaka, seperti misalnya ketemu temanyang di antaranya memang membuat saya senang memandangnya. Ada yang karena kecantikannya, ada yang karena kecerdasannya, ada yang karena naluri keibuannya yang mengesankan saat menuntun putra-putri mereka.
Ada pula nilai yang agak serius, misalnya soal pendidikan. Sebetulnya berat sekali mengantar dan menjemput anak itu setiap kali karena kerepotan teknisnya terus meninggi dari hari ke hari. Lalu lintas makin tambah padat saja dan tempat parkir makin tak ada. Setelah repot mengantar, lalu repot membiayai karena biaya sekolah juga makin meninggi.
Tapi serepot-repotnya mengantar dan membiayai, pasti jauh lebih repot lagi adalah anak-anak itu sendiri sebagai pihak yang harus menjalani. Tas mereka berat sekali, pelajaran mereka banyak sekali dan jam sekolah mereka panjang sekali. Jam yang panjang, di dalam tahun yang lama, jadi betapa lelahnya. Apa jadinya jika sudah begini berlelah-lelah, bermahal-mahal dan berlama-lama, cuma keliru kurikulumnya.
Karenanya sambil mengamati anak-anak dengan tas punggung yang berat itu, saya membayangkan sekolah dengan rasa cemas dan rindu. Rindu, bahwa hingga kini belum tergantikan. Tetapi apa jadinya, jika lembaga sepenitng ini, misalnya, harus menanggung setidaknya dua soal prinsipil. Pertama metodologi, kedua kejujuran.
Soal yang pertama itu saja sampai sekarang belum rampung diperdebatkan. Bagi para awam mudah saja mengujinya, apapun alasannya, sepanjang masih rendah produktivitas sebuah bangsa,i bagi masa depan mereka. Dan ini yang terpenting, adakah anak-anak telah menjadi objek industri dengan pendidikan sebagi kedoknya?
Karena jika cuma soal metodologi, jika cuma soal kurikulum yang keliru, tidak perlu ada yang ditakutkan sepanjang semua itu sekadar risiko dari sebuah pembelajaran. Kekeliruan bagi sebuah upaya, adalah kewajaran. Jauh bedanya, dengan kekeliruan hasil dari sebuah ketidak jujuran.
Celakanya di Indonesia ini, ketidak jujuran itu bisa merambah ke mana-mana bahkan sampai ke pendidikan dan peribadatan. Karenanya, saya sempatkan berdoa: semoga sekolah, tempat anak-anak kita menggadaikan waktunya yang panjang itu, dijaga dari aneka perilaku yang tidak pada tempatnya.
Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller