Paksaan Kebaikan
Kebaikan itu butuh dipaksakan. Kalau memang terpaksa itulah jalan satu-satunya. Jangankan yang menjalani keterpaksaan, bahkan yang memaksa pun tak kalah menderita. Saya pernah terpaksa dan pernah memaksa. Dan keduanya sama-sama tak enak rasanya.
Saya pernah berada dalan keadaan terpaksa. Terpaksa ikut orang, ikut saudara, ikut kerja paksa. Benar-benar kerja terpaksa karena pekerjaan lain sepertinya tak ada. Setiap pulang kerja seluruh kemalangan seperti tertimpa di kepala. Pekerjaan berat, tidak bergengsi, rendah bayarannya, panjang waktunya, singkat istirahatnya, galak mandornya. Pokoknya lengkap. Saking lengkapnya saya hanya kuat dua hari saja dan dengan gagah saya keluar tanpa mengambil upah (maksud saya gagah sambil nerana).
Saya pernah ikut saudara hanya agar bisa nebeng tidur dan makan. Rasanya tersiksa 24 jam nonstop. Tidur tidak tenang karena harus bangun tepat waktu, lapar tidak terpuaskan karena makan tak boleh kebanyakan. Maklum, meskipun saya miskin, saudara yang saya ikuti itu juga miskin. Sesama orang.miskin jadi sama-sama perasa.
Saya pernah bekerja dengan pekerjaan yang tidak saya sukai. Sungguh menderita setiap kali. Karena saya tak menyukai pekerjaannya, saya jadi tak menyukai orang-orang di sekitarnya. Maka ganda penderitaan saya. Tersiksa pekerjaan, tersiksa pergaulan. Tapi dari semua keterpaksaan yang menyiksa itu saya baru tahu, bahwa ia adalah manfaat penting di kelak kemudian.
Kini, baru jelas, ada apa di balik seluruh keterpaksaan yang menyiksa itu. Ia sejatinya adalah peletak landasan. Dua hari bekerja di pabrik yang saya sumpahi itu, ternyata adalah pondasi
saya dalam kerja bertahun- tahun di hari ini. Numpang hidup di tempat saudara yang menekan perasaan itu ternyata adalah dasar saya bergaul dengan manusia di hari ini. Tak ada yang sia-sia dari seluruh kerja paksa yang saya jalani selama ini.
Mengingat itu semua kini saya agak menega-negakan memaksa pihak lain untuk mengerjakan soal-soal yang mungkin tak mereka sukai. Bukan cuma tak enak tapi sering kali sungguh tak tega apalagi jika menyangkut orang-orang terdekat kita, anak misalnya. Melihat anak-anak menderita, setengah dari penderitaan saya saja, adalah pemandangan yang memilukan hati. Melihat anak-anak menderita adalah kelemahan orang tua, tak terkecuali saya. Tapi tega tak tega, rumus hidup itu jelas belaka. Ada tujuan hidup yang harus dicapai cuma dengan jerih payah tak peduli ia adalah anak-anak kita.
Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Tinggal di Semarang
Saya pernah berada dalan keadaan terpaksa. Terpaksa ikut orang, ikut saudara, ikut kerja paksa. Benar-benar kerja terpaksa karena pekerjaan lain sepertinya tak ada. Setiap pulang kerja seluruh kemalangan seperti tertimpa di kepala. Pekerjaan berat, tidak bergengsi, rendah bayarannya, panjang waktunya, singkat istirahatnya, galak mandornya. Pokoknya lengkap. Saking lengkapnya saya hanya kuat dua hari saja dan dengan gagah saya keluar tanpa mengambil upah (maksud saya gagah sambil nerana).
Saya pernah ikut saudara hanya agar bisa nebeng tidur dan makan. Rasanya tersiksa 24 jam nonstop. Tidur tidak tenang karena harus bangun tepat waktu, lapar tidak terpuaskan karena makan tak boleh kebanyakan. Maklum, meskipun saya miskin, saudara yang saya ikuti itu juga miskin. Sesama orang.miskin jadi sama-sama perasa.
Saya pernah bekerja dengan pekerjaan yang tidak saya sukai. Sungguh menderita setiap kali. Karena saya tak menyukai pekerjaannya, saya jadi tak menyukai orang-orang di sekitarnya. Maka ganda penderitaan saya. Tersiksa pekerjaan, tersiksa pergaulan. Tapi dari semua keterpaksaan yang menyiksa itu saya baru tahu, bahwa ia adalah manfaat penting di kelak kemudian.
Kini, baru jelas, ada apa di balik seluruh keterpaksaan yang menyiksa itu. Ia sejatinya adalah peletak landasan. Dua hari bekerja di pabrik yang saya sumpahi itu, ternyata adalah pondasi
saya dalam kerja bertahun- tahun di hari ini. Numpang hidup di tempat saudara yang menekan perasaan itu ternyata adalah dasar saya bergaul dengan manusia di hari ini. Tak ada yang sia-sia dari seluruh kerja paksa yang saya jalani selama ini.
Mengingat itu semua kini saya agak menega-negakan memaksa pihak lain untuk mengerjakan soal-soal yang mungkin tak mereka sukai. Bukan cuma tak enak tapi sering kali sungguh tak tega apalagi jika menyangkut orang-orang terdekat kita, anak misalnya. Melihat anak-anak menderita, setengah dari penderitaan saya saja, adalah pemandangan yang memilukan hati. Melihat anak-anak menderita adalah kelemahan orang tua, tak terkecuali saya. Tapi tega tak tega, rumus hidup itu jelas belaka. Ada tujuan hidup yang harus dicapai cuma dengan jerih payah tak peduli ia adalah anak-anak kita.
Prie GS
Budayawan, Motivator, Penulis Buku Best Seller
Tinggal di Semarang