#SINAU BARENG SANTRI PESANTREN ENTREPRENEUR MAGELANG
Teladani Rasulullah, Santri Seharusnya Pandai Berdagang
Apa yang ada di benak Anda ketika melihat sosok santri? Mereka adalah sekelumit generasi muda bangsa ini yang menyibukkan diri dengan mendalami ilmu agama dan pandai beretorika menderetkan ayat suci di depan mimbar khotbah. Penilaian generik semacam ini tentu saja bukan salah, tetapi jika melihat perwakilan santri yang datang pada Minggu siang (27/1) di Rumah Belajar JRU kita akan menilai berbeda. Mereka adalah sekelumit santri dari Pesantren Entrepreneur (Partner) yang berlokasi di Tempuran, Magelang.
Dengan gaya khas seorang ulama kharismatik, suara KH Muhammad Yusuf Chudlori yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Yusuf meniupkan keheningan mendengarkan di ruangan Rumah Belajar siang itu. Ya, Minggu siang (27/1) saat itu, Jaringan RumahUSAHA tengah menerima perwakilan santri dari Pesantren Entrepreneur Tempuran, Magelang. Pesantren unik ini digagas oleh pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang tersebut sebagai sebuah manifestasi semangat kemandirian dalam pembangunan umat.
Gus Yusuf memang tidak dapat hadir langsung di saat itu tetapi multimedia yang dibawakan khusus sebagai tanda mata dari beliau kepada Ketua Dewan Pendiri JRU, iLik sAs mewakili maksud dirinya mengirimkan santri dan mentor pesantren tersebut ke Semarang. Pada tayangan multimedia tersebut, Gus Yusuf menceritakan jika semangat inklusivitas dan kemandirian yang digagas oleh KH Chudlori adalah sebuah visi yang harus dilestarikan bersama oleh pengurus, santri, dan alumnus pondok pesantren salafiyah tersebut.
Salah satu teladan yang dapat diwariskan dan harus dikembangkan adalah bagaimana pesantren ini bertumbuh sejak didirikan pada 15 September 1944 mengandalkan kekuatan sendiri. Lahan di sekitar pesantren dimanfaatkan untuk bercocok tanam dan menggembala ternak. Santri yang biasanya asyik-masyuk dengan kitab kuning juga diajarkan untuk menegakkan kuali di dapur melalui praktek nyata. Bahkan, setiap kali santri pulang ke kampung halamannya, KH Chudlori selalu berpesan sebelum kembali ke pondok, mereka harus memastikan keluarga mereka tidak kekurangan makan. Inilah yang kemudian menjadikan API Tegalrejo dikenal sebagai pesantren modern dengan kepemilikan stasiun radio, bisnis AMDK, ritel, dan BMT.
Rombongan yang dipimpin oleh Adang Legowo dan Krismawan, dua pendiri pendamping dari Partner ini juga membekali santri mereka dengan semangat “Man Jadda wa Jadda” yang terkenal itu. Beberapa dari santri mereka kini telah menorehkan prestasi riil dengan menjadi pemilik jejaring waralaba mikro pisang renyah di Salatiga, pemasok sayur-mayur segar di Wonosobo, bahkan ada pula yang berinovasi dengan menjual rujak buah yang dikemas dalam sate buah dengan bumbu coklat bermerek Sate Buah Sedunia di Magelang.
“Kami datang ke sini untuk belajar dan berjejaring dengan JRU,” ujar Krismawan, pengusaha grafika di Yogyakarta yang didaulat menjadi perwakilan dari Partner. Dari beberapa interaktif yang hilir-mudik, ada beberapa catatan menarik yang dapat menjadi kajian bersama. Mereka memiliki pandangan jika menjadi wirausaha adalah sebuah hal yang menyenangkan. Selain itu, mereka juga meyakini jika kekuatan agama berada pada sumber kekuatan ekonomi, begitu pula sebaliknya.
Memuncaki acara, Koordinator Dewan Pendiri JRU, iLik sAs menyampaikan pandangan yang intinya adalah mengajak semua yang hadir di forum siang itu untuk senantiasa belajar. Contoh yang berkembang di Jaringan RumahUSAHA menjadi studi kasus menarik. Bagaimana sebuah proses pendampingan berjalan mendampingi pembentukan mentalitas personal, tidak terjebak pada infrastruktur lahiriah semata. Orang yang lebih tua harus mau belajar dari mereka yang muda, sebaliknya budaya menghormati dan etis harus senantiasa menjadi landasan fundamental. “Kami ini pesantren jalanan,” tuturnya yang disambut dengan aplaus.
iLik menekankan pentingnya setiap orang untuk kembali mencari “inner mentor”-nya dan tidak hanya sekadar memercayai motivator. Melalui hal semacam ini, kewirausahaan tumbuh menjadi pilihan hidup sebagaimana Rasulullah menjadi pedagang ulung di zamannya. Gus Yusuf dalam satu bagian juga menceritakan sebuah kontempelasi yang dihadirkan oleh Hermawan Kartajaya yang mempertanyakan mengapa umat Islam tidak meneladani Rasulullah yang berdagang. Seharusnya, jika ingin disebut “kaffah” mendalami agama ini, setiap orang yang beriman idealnya menumbuhkan semangat kewirausahaan laiknya Rasulullah.
Acara singkat yang sangat mendalam maknanya tersebut akhirnya ditutup dengan sajian dari JRUkustik yang menemani santap siang bersama sederhana dari Warung Wedangan. Ya, santri kini sudah harus bergerak dari sekadar menjadi penghubung vertikal tetapi juga harus menjadi transporter kepentingan umat yang praktis di dunia kewirausahaan. Santri tak hanya mafhum dengan kitab kuning tetapi juga lihai dalam berdagang, berdagang yang betul tentu saja.
Dengan gaya khas seorang ulama kharismatik, suara KH Muhammad Yusuf Chudlori yang akrab dipanggil dengan sebutan Gus Yusuf meniupkan keheningan mendengarkan di ruangan Rumah Belajar siang itu. Ya, Minggu siang (27/1) saat itu, Jaringan RumahUSAHA tengah menerima perwakilan santri dari Pesantren Entrepreneur Tempuran, Magelang. Pesantren unik ini digagas oleh pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang tersebut sebagai sebuah manifestasi semangat kemandirian dalam pembangunan umat.
Gus Yusuf memang tidak dapat hadir langsung di saat itu tetapi multimedia yang dibawakan khusus sebagai tanda mata dari beliau kepada Ketua Dewan Pendiri JRU, iLik sAs mewakili maksud dirinya mengirimkan santri dan mentor pesantren tersebut ke Semarang. Pada tayangan multimedia tersebut, Gus Yusuf menceritakan jika semangat inklusivitas dan kemandirian yang digagas oleh KH Chudlori adalah sebuah visi yang harus dilestarikan bersama oleh pengurus, santri, dan alumnus pondok pesantren salafiyah tersebut.
Salah satu teladan yang dapat diwariskan dan harus dikembangkan adalah bagaimana pesantren ini bertumbuh sejak didirikan pada 15 September 1944 mengandalkan kekuatan sendiri. Lahan di sekitar pesantren dimanfaatkan untuk bercocok tanam dan menggembala ternak. Santri yang biasanya asyik-masyuk dengan kitab kuning juga diajarkan untuk menegakkan kuali di dapur melalui praktek nyata. Bahkan, setiap kali santri pulang ke kampung halamannya, KH Chudlori selalu berpesan sebelum kembali ke pondok, mereka harus memastikan keluarga mereka tidak kekurangan makan. Inilah yang kemudian menjadikan API Tegalrejo dikenal sebagai pesantren modern dengan kepemilikan stasiun radio, bisnis AMDK, ritel, dan BMT.
Rombongan yang dipimpin oleh Adang Legowo dan Krismawan, dua pendiri pendamping dari Partner ini juga membekali santri mereka dengan semangat “Man Jadda wa Jadda” yang terkenal itu. Beberapa dari santri mereka kini telah menorehkan prestasi riil dengan menjadi pemilik jejaring waralaba mikro pisang renyah di Salatiga, pemasok sayur-mayur segar di Wonosobo, bahkan ada pula yang berinovasi dengan menjual rujak buah yang dikemas dalam sate buah dengan bumbu coklat bermerek Sate Buah Sedunia di Magelang.
“Kami datang ke sini untuk belajar dan berjejaring dengan JRU,” ujar Krismawan, pengusaha grafika di Yogyakarta yang didaulat menjadi perwakilan dari Partner. Dari beberapa interaktif yang hilir-mudik, ada beberapa catatan menarik yang dapat menjadi kajian bersama. Mereka memiliki pandangan jika menjadi wirausaha adalah sebuah hal yang menyenangkan. Selain itu, mereka juga meyakini jika kekuatan agama berada pada sumber kekuatan ekonomi, begitu pula sebaliknya.
Memuncaki acara, Koordinator Dewan Pendiri JRU, iLik sAs menyampaikan pandangan yang intinya adalah mengajak semua yang hadir di forum siang itu untuk senantiasa belajar. Contoh yang berkembang di Jaringan RumahUSAHA menjadi studi kasus menarik. Bagaimana sebuah proses pendampingan berjalan mendampingi pembentukan mentalitas personal, tidak terjebak pada infrastruktur lahiriah semata. Orang yang lebih tua harus mau belajar dari mereka yang muda, sebaliknya budaya menghormati dan etis harus senantiasa menjadi landasan fundamental. “Kami ini pesantren jalanan,” tuturnya yang disambut dengan aplaus.
iLik menekankan pentingnya setiap orang untuk kembali mencari “inner mentor”-nya dan tidak hanya sekadar memercayai motivator. Melalui hal semacam ini, kewirausahaan tumbuh menjadi pilihan hidup sebagaimana Rasulullah menjadi pedagang ulung di zamannya. Gus Yusuf dalam satu bagian juga menceritakan sebuah kontempelasi yang dihadirkan oleh Hermawan Kartajaya yang mempertanyakan mengapa umat Islam tidak meneladani Rasulullah yang berdagang. Seharusnya, jika ingin disebut “kaffah” mendalami agama ini, setiap orang yang beriman idealnya menumbuhkan semangat kewirausahaan laiknya Rasulullah.
Acara singkat yang sangat mendalam maknanya tersebut akhirnya ditutup dengan sajian dari JRUkustik yang menemani santap siang bersama sederhana dari Warung Wedangan. Ya, santri kini sudah harus bergerak dari sekadar menjadi penghubung vertikal tetapi juga harus menjadi transporter kepentingan umat yang praktis di dunia kewirausahaan. Santri tak hanya mafhum dengan kitab kuning tetapi juga lihai dalam berdagang, berdagang yang betul tentu saja.