Kemauan Untuk Terus Belajar
Sikap belajar harus terus tertanam dalam diri. Kita tidak perlu gengsi terhadap siapapun jika mau belajar. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari hidup ini. Salah satunya kita bisa belajar dari orang-orang di sekeliling. Kecerdasan mendengarkan adalah salah satu modalnya. Bahkan kepada yang lebih muda pun saya senantiasa siap sediakan telinga untuk mendengar belajar dari mereka.
Di komunitas bisnis dan persaudaraan yang saya bangun, Jaringan RumahUSAHA (JRU), saya dan dulur-dulur senantiasa belajar dari banyak hal. Rekan yang lebih dulu membangun bisnis membagikan pengalaman kepada para entrepreneur yang lebih muda. Sebaliknya, mereka yang lebih dulu berbisnis dan telah sukses tersebut juga belajar dari semangat anak-anak muda. Program saling belajar ini, kerap kami sebut dengan Program Belajar-Mengajar.
Tak hanya sampai di situ, di komunitas kami para pegawai pun sangat dihargai sebagai manusia pembelajar. Pemilik usaha dari masing-masing tempat senantiasa memotivasi untuk belajar. Tiap karyawan di JRU diberikan kesempatan untuk belajar, mulai dari pembekalan kompetensi hingga mental menjadi wirausaha. Setiap hari kami belajar bareng di Rumah BelajarJRU yang kami siapkan khusus untuk belajar bersama.
Intinya kami penuhi waktu kami untuk mengasah kemampuan mental jawara kami. Beruntung bagi yang bersedia belajar. Bagi karyawan & anggota persaudaraan bisnis kami yang memang miliki kemauan untuk bertumbuh dan maju, tentu saja ini jadi kesempatan yang sangat baik. Namun tidak semua mau merubah nasibnya, terbukti diantaranya belajar tidak dianggap penting.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, jiwa-jiwa pembelajar seperti ini seharusnya mampu diterapkan. Seorang ayah atau ibu sebaiknya mau menyempatkan diri untuk belajar kepada anaknya. Seorang guru juga terkadang perlu belajar kepada muridnya. Jaman sudah berubah. Hal ini bukanlah sesuatu yang terdengar tabu bila kita memaknai artinya belajar.
Saya mempraktikkannya bersama dengan Ririn Narulita, istri saya - dalam keluarga kecil kami. Sebagai orangtua, kami berdua sepakat untuk menjadi teladan dan sumber nilai bagi ketiga anak kami. Anis, Salma & Nabila. Apa yang akan kami ajarkan kepada mereka, senantiasa harus kami lakoni dulu sehingga dapat memberikan pemahaman yang objektif dan komprehensif. Pendekatan ini menjadikan kami berdua sebagai orientasi nilai bagi ketiga buah hati kami. Bebannya memang berat, tetapi itulah cara yang kami berdua anggap paling relevan ketika harus berdamai dengan tantangan terpaan dunia luar yang begitu hebat & kompetitif untuk ketiga anak kami.
Berbekal inilah kami menanamkan cara menghormati dan menghargai keberadaan yang lebih tua dengan penuh kesadaran. Saya dan istri berharap, ketiga anak kami ini dapat menghormati dan menghargai mereka yang lebih tua dengan kesadaran. Bukan karena tekanan.
Sebenarnya, dalam perjalanan menjadi pusat nilai tersebut, saya dan istri sadar jika kami justru belajar pada anak-anak kami. Semangat kami berdua adalah agar kami dapat berjalan beriringan dengan dunia mereka yang padat dengan teknologi dan informasi. Titik temu inilah yang akhirnya mempertemukan kami dan anak-anak. Bukan hal yang naif jika saya kemudian berguru kepada anak-anak. Seperti halnya ketika awal saya memahami jagat sosial media justru anak-anak kami yang memandu. Ketika ada gadget baru yang terbeli karena kebutuhan komunikasi saya yang mulai kompleks, saya dan anak-anak tak jarang belajar bersama. Dan akhirnya, merekalah yang lebih cepat memahaminya. Di fase itulah, mereka kemudian menjadi guru saya dengan proses yang sungguh etis. Saya belajar sesuatu yang teknis kepada mereka, dan mereka juga belajar bagaimana filosofi memberikan cara pengajaran kepada yang lebih tua dengan etis.
Kata belajar sangat tidak ada batasnya. Ketika bangun tidur, ketika memulai aktivitas, hingga ketika kembali memejamkan mata pun semuanya dipenuhi dengan pembelajaran. Hidup terlalu mewah untuk diabaikan dan dilewatkan, maka kami pun terus belajar dari lingkungan kami.
- iLik sAs, praktisi usaha mikro -
www.iliksas.com
Di komunitas bisnis dan persaudaraan yang saya bangun, Jaringan RumahUSAHA (JRU), saya dan dulur-dulur senantiasa belajar dari banyak hal. Rekan yang lebih dulu membangun bisnis membagikan pengalaman kepada para entrepreneur yang lebih muda. Sebaliknya, mereka yang lebih dulu berbisnis dan telah sukses tersebut juga belajar dari semangat anak-anak muda. Program saling belajar ini, kerap kami sebut dengan Program Belajar-Mengajar.
Tak hanya sampai di situ, di komunitas kami para pegawai pun sangat dihargai sebagai manusia pembelajar. Pemilik usaha dari masing-masing tempat senantiasa memotivasi untuk belajar. Tiap karyawan di JRU diberikan kesempatan untuk belajar, mulai dari pembekalan kompetensi hingga mental menjadi wirausaha. Setiap hari kami belajar bareng di Rumah BelajarJRU yang kami siapkan khusus untuk belajar bersama.
Intinya kami penuhi waktu kami untuk mengasah kemampuan mental jawara kami. Beruntung bagi yang bersedia belajar. Bagi karyawan & anggota persaudaraan bisnis kami yang memang miliki kemauan untuk bertumbuh dan maju, tentu saja ini jadi kesempatan yang sangat baik. Namun tidak semua mau merubah nasibnya, terbukti diantaranya belajar tidak dianggap penting.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, jiwa-jiwa pembelajar seperti ini seharusnya mampu diterapkan. Seorang ayah atau ibu sebaiknya mau menyempatkan diri untuk belajar kepada anaknya. Seorang guru juga terkadang perlu belajar kepada muridnya. Jaman sudah berubah. Hal ini bukanlah sesuatu yang terdengar tabu bila kita memaknai artinya belajar.
Saya mempraktikkannya bersama dengan Ririn Narulita, istri saya - dalam keluarga kecil kami. Sebagai orangtua, kami berdua sepakat untuk menjadi teladan dan sumber nilai bagi ketiga anak kami. Anis, Salma & Nabila. Apa yang akan kami ajarkan kepada mereka, senantiasa harus kami lakoni dulu sehingga dapat memberikan pemahaman yang objektif dan komprehensif. Pendekatan ini menjadikan kami berdua sebagai orientasi nilai bagi ketiga buah hati kami. Bebannya memang berat, tetapi itulah cara yang kami berdua anggap paling relevan ketika harus berdamai dengan tantangan terpaan dunia luar yang begitu hebat & kompetitif untuk ketiga anak kami.
Berbekal inilah kami menanamkan cara menghormati dan menghargai keberadaan yang lebih tua dengan penuh kesadaran. Saya dan istri berharap, ketiga anak kami ini dapat menghormati dan menghargai mereka yang lebih tua dengan kesadaran. Bukan karena tekanan.
Sebenarnya, dalam perjalanan menjadi pusat nilai tersebut, saya dan istri sadar jika kami justru belajar pada anak-anak kami. Semangat kami berdua adalah agar kami dapat berjalan beriringan dengan dunia mereka yang padat dengan teknologi dan informasi. Titik temu inilah yang akhirnya mempertemukan kami dan anak-anak. Bukan hal yang naif jika saya kemudian berguru kepada anak-anak. Seperti halnya ketika awal saya memahami jagat sosial media justru anak-anak kami yang memandu. Ketika ada gadget baru yang terbeli karena kebutuhan komunikasi saya yang mulai kompleks, saya dan anak-anak tak jarang belajar bersama. Dan akhirnya, merekalah yang lebih cepat memahaminya. Di fase itulah, mereka kemudian menjadi guru saya dengan proses yang sungguh etis. Saya belajar sesuatu yang teknis kepada mereka, dan mereka juga belajar bagaimana filosofi memberikan cara pengajaran kepada yang lebih tua dengan etis.
Kata belajar sangat tidak ada batasnya. Ketika bangun tidur, ketika memulai aktivitas, hingga ketika kembali memejamkan mata pun semuanya dipenuhi dengan pembelajaran. Hidup terlalu mewah untuk diabaikan dan dilewatkan, maka kami pun terus belajar dari lingkungan kami.
- iLik sAs, praktisi usaha mikro -
www.iliksas.com