Membangun Keluarga Komunal
Keluarga merupakan pranata sosial pertama dan utama. Tak dapat dipungkiri keluarga miliki arti strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan. Rumah juga tak hanya dimaknai secara fisik, namun juga filosofis dalam membangun kepribadian keluarga itu sendiri.
Untuk ukuran sebuah keluarga, barangkali yang saya & Ririn Narulita, istri saya, bangun diluar kebiasaan semestinya bagaimana sebuah keluarga dibangun. Saya dan keluarga saya mengambil keputusan yang sangat beresiko dengan membuat keluarga kami sebagai keluarga komunal.
Bukan saja karena pada umumnya keluarga adalah sebuah komunal terkecil dari struktur makro masyarakat, tetapi keluarga kami adalah keluarga komunal dalam arti yang sesungguhnnya. Ya, sekitar 10 tahun ini saya, istri dan anak-anak telah bersepakat rumah kami menjadi rumah komunitas. Rumah bersama bagi komunitas kami, Jaringan RumahUSAHA (JRU).
Rumah yang seharusnya menjadi privasi kami, di keluarga kami justru sebagai rumah untuk berkumpul & berkarya bagi anggota komunitas kami. Bahkan setahun terakhir rumah kami juga digunakan untuk live in sedulur-sedulur komunitas lain. Mereka mengamati, belajar bersama, sharing banyak hal dengan keluarga & anggota komunitas kami.
Hingga hari ini kami menikmati semua proses itu. Saya hidup di komunitas, saya tumbuh di komunitas, saya menjadi yang sekarang pun karena komunitas yang saya bangun. Inilah bentuk saya mengabdi pada komunitas yang saya bangun selama ini. Keputusan ini tentu saja tanpa resiko. Rumah yang seharusnya bersifat internal dan privat, menjadi ruang terbuka.
Bila kami tidak bisa mengelola interaksi-interaksi eksternal ini, bisa saja kami mengalami masalah. Entah itu hanya berawal dari kata-kata atau kebiasaan yang kurang pas saja bisa jadi membuat orang lain tidak suka terhadap keluarga kami, hingga akhirnya menjadi masalah. Belum lagi saya yang sering berkegiatan di komunitas, tentu bisa saja menimbulkan masalah lagi. Bisa saja, anak-anak yang meminta lebih banyak perhatian.
Syukurlah, secara mendasar hal ini tidak terjadi pada keluarga kami. Pasti semua yang kami lakukan bukan tanpa hambatan. Apalagi pada awalnya. Barangkali krn komitmen yang telah kami bangun bersama tadi. Kami. saya dan Ririn Narulita, istri saya - musti terampil membangun proporsionalitas dalam membagi kepentingan dan kebutuhan waktu itu sendiri, antara keluarga internal dan keluarga komunitas kami.
Justru dengan adanya kebersamaan inilah kami banyak belajar bahwa inilah hidup. Hidup kita ini tak hanya bagi keluarga kecil kita yang ada di rumah. Namun juga bagi komunitas dan masyarakat luas. Lebih luas lagi, bagaimana kita tak hanya melulu berinteraksi dengan keluarga biologis saja, tetapi juga bisa berinteraksi sekaligus bermanfaat bagi lingkungan kami.
- iLik sAs, praktisi usaha mikro -
www.iliksas.com
Untuk ukuran sebuah keluarga, barangkali yang saya & Ririn Narulita, istri saya, bangun diluar kebiasaan semestinya bagaimana sebuah keluarga dibangun. Saya dan keluarga saya mengambil keputusan yang sangat beresiko dengan membuat keluarga kami sebagai keluarga komunal.
Bukan saja karena pada umumnya keluarga adalah sebuah komunal terkecil dari struktur makro masyarakat, tetapi keluarga kami adalah keluarga komunal dalam arti yang sesungguhnnya. Ya, sekitar 10 tahun ini saya, istri dan anak-anak telah bersepakat rumah kami menjadi rumah komunitas. Rumah bersama bagi komunitas kami, Jaringan RumahUSAHA (JRU).
Rumah yang seharusnya menjadi privasi kami, di keluarga kami justru sebagai rumah untuk berkumpul & berkarya bagi anggota komunitas kami. Bahkan setahun terakhir rumah kami juga digunakan untuk live in sedulur-sedulur komunitas lain. Mereka mengamati, belajar bersama, sharing banyak hal dengan keluarga & anggota komunitas kami.
Hingga hari ini kami menikmati semua proses itu. Saya hidup di komunitas, saya tumbuh di komunitas, saya menjadi yang sekarang pun karena komunitas yang saya bangun. Inilah bentuk saya mengabdi pada komunitas yang saya bangun selama ini. Keputusan ini tentu saja tanpa resiko. Rumah yang seharusnya bersifat internal dan privat, menjadi ruang terbuka.
Bila kami tidak bisa mengelola interaksi-interaksi eksternal ini, bisa saja kami mengalami masalah. Entah itu hanya berawal dari kata-kata atau kebiasaan yang kurang pas saja bisa jadi membuat orang lain tidak suka terhadap keluarga kami, hingga akhirnya menjadi masalah. Belum lagi saya yang sering berkegiatan di komunitas, tentu bisa saja menimbulkan masalah lagi. Bisa saja, anak-anak yang meminta lebih banyak perhatian.
Syukurlah, secara mendasar hal ini tidak terjadi pada keluarga kami. Pasti semua yang kami lakukan bukan tanpa hambatan. Apalagi pada awalnya. Barangkali krn komitmen yang telah kami bangun bersama tadi. Kami. saya dan Ririn Narulita, istri saya - musti terampil membangun proporsionalitas dalam membagi kepentingan dan kebutuhan waktu itu sendiri, antara keluarga internal dan keluarga komunitas kami.
Justru dengan adanya kebersamaan inilah kami banyak belajar bahwa inilah hidup. Hidup kita ini tak hanya bagi keluarga kecil kita yang ada di rumah. Namun juga bagi komunitas dan masyarakat luas. Lebih luas lagi, bagaimana kita tak hanya melulu berinteraksi dengan keluarga biologis saja, tetapi juga bisa berinteraksi sekaligus bermanfaat bagi lingkungan kami.
- iLik sAs, praktisi usaha mikro -
www.iliksas.com