Meminta Maaf dan Memaafkan
Meminta maaf dan memaafkan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam suasana Idul Fitri. Bahkan beberapa orang mengklaim hal tersebut sebagai kegiatan wajib di hari raya. Terlepas dari itu semua, meminta maaf dan memaafkan adalah bagian dari keberanian berintrospeksi diri di mana kita mau mengakui kesalahan, baik kesalahan kecil maupun besar.
Di jaman seperti sekarang, kita bisa melihat banyak orang yang masih takut mengakui kesalahan. Mayoritas orang lebih suka menutup-nutupi kesalahannya. Bahkan banyak pula yang acuh tak acuh. Padahal dengan mengakui kesalahan dan dan bersedia menerima konsekuensinya, kita bisa lebih lega dan nyaman menjalani hidup ini. Terlebih lagi dalam berhubungan dengan orang lain, kita tidak perlu takut akan kesalahan. Kita juga tak perlu takut bersembunyi dari orang-orang yang mungkin pernah kita persalahi.
Kita bisa berkaca pada pengalaman masa lalu ketika berada di bangku sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar dulu. Betapa mengerikannya bila kita mengakui kesalahan. Kita akan berpikir bahwa kita pasti akan dihukum, baik berdiri di depan kelas, menerima jeweran, atau yang lainnya. Kini, bila kita telisik lagi, sebenarnya kita dihukum bukan karena mengakui kesalahan, melainkan karena kita yang tak mau mengakui kesalahan pada waktunya. Benar bukan?
Kejadian lain juga bisa kita lihat ketika ada seorang anak kecil menangis karena kakinya tersandung batu, kemudian anak tersebut berlari dan mengadu kepada orang tuanya. Sang orang tua pasti akan berkata, “Diam sayang, batunya nakal ya? Nanti mama marahi batunya...” Atau ketika kita mempunyai janji dengan orang lain untuk bertemu di suatu tempat dan ternyata kita terlambat. Saat ditanyakan alasan mengapa terlambat, kita cenderung akan menjawab bahwa tadi jalanannya macet, supir taksinya lama, dan lain-lain.
Yang perlu kita pertanyakan sekarang adalah mengapa harus menyalahkan batu, jalanan, atau supir taksi? Mengapa kita introspkesi ke dalam diri kita sendiri? Sekali lagi, hal ini karena masih adanya mental block dalam diri masyarakat umum. Begitu mudahnya kita melempar kesalahan kepada orang lain. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari selamat. Di sinilah kemudian kebanyakan dari kita melemparkan kesalahan kepada orang lain dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat.
Meminta maaf dan memaafkan justru hanya dilakukan sebagai bukanlah pertanda kelemahan kita. Justru diperlukan kekuatan yang luar biasa besar untuk mampu melihat dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, tanpa harus melihat tua atau muda, kaya atau miskin, dsb. Mau meminta maaf dan memaafkan serta berkomitmen untuk memperbaiki semuanya adalah sebuah prestasi besar, karena terdapat unsur keberanian, kejujuran, dan ketulusan di dalam kata maaf tersebut.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Di jaman seperti sekarang, kita bisa melihat banyak orang yang masih takut mengakui kesalahan. Mayoritas orang lebih suka menutup-nutupi kesalahannya. Bahkan banyak pula yang acuh tak acuh. Padahal dengan mengakui kesalahan dan dan bersedia menerima konsekuensinya, kita bisa lebih lega dan nyaman menjalani hidup ini. Terlebih lagi dalam berhubungan dengan orang lain, kita tidak perlu takut akan kesalahan. Kita juga tak perlu takut bersembunyi dari orang-orang yang mungkin pernah kita persalahi.
Kita bisa berkaca pada pengalaman masa lalu ketika berada di bangku sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar dulu. Betapa mengerikannya bila kita mengakui kesalahan. Kita akan berpikir bahwa kita pasti akan dihukum, baik berdiri di depan kelas, menerima jeweran, atau yang lainnya. Kini, bila kita telisik lagi, sebenarnya kita dihukum bukan karena mengakui kesalahan, melainkan karena kita yang tak mau mengakui kesalahan pada waktunya. Benar bukan?
Kejadian lain juga bisa kita lihat ketika ada seorang anak kecil menangis karena kakinya tersandung batu, kemudian anak tersebut berlari dan mengadu kepada orang tuanya. Sang orang tua pasti akan berkata, “Diam sayang, batunya nakal ya? Nanti mama marahi batunya...” Atau ketika kita mempunyai janji dengan orang lain untuk bertemu di suatu tempat dan ternyata kita terlambat. Saat ditanyakan alasan mengapa terlambat, kita cenderung akan menjawab bahwa tadi jalanannya macet, supir taksinya lama, dan lain-lain.
Yang perlu kita pertanyakan sekarang adalah mengapa harus menyalahkan batu, jalanan, atau supir taksi? Mengapa kita introspkesi ke dalam diri kita sendiri? Sekali lagi, hal ini karena masih adanya mental block dalam diri masyarakat umum. Begitu mudahnya kita melempar kesalahan kepada orang lain. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk mencari selamat. Di sinilah kemudian kebanyakan dari kita melemparkan kesalahan kepada orang lain dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat.
Meminta maaf dan memaafkan justru hanya dilakukan sebagai bukanlah pertanda kelemahan kita. Justru diperlukan kekuatan yang luar biasa besar untuk mampu melihat dan mengakui kesalahan yang telah diperbuat, tanpa harus melihat tua atau muda, kaya atau miskin, dsb. Mau meminta maaf dan memaafkan serta berkomitmen untuk memperbaiki semuanya adalah sebuah prestasi besar, karena terdapat unsur keberanian, kejujuran, dan ketulusan di dalam kata maaf tersebut.
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.