CATATAN DARI TEMU NASIONAL KEWIRAUSAHAAN SOSIAL 2013
Kewirausahaan Sosial, Jalan Kembali ke Budaya Rakyat
Pada Sabtu-Minggu (21/9-22/9) yang lalu, Jaringan RumahUSAHA mengirimkan delegasi relawan untuk menghadiri Temu Nasional Kewirausahaan Sosial 2013 yang kali ini diselenggarakan di Surabaya. Bertempat di kampus Universitas Surabaya di Raya Tenggilis Mejoyo, perhelatan silaturahmi pelaku kewirausahaan sosial berskala nasional dilakukan. Relawan Prayoga Danuwirahadi menurunkan laporan catatannya berikut ini :
Berbicara soal kewirausahaan, tampaknya Indonesia sudah sangat ahli dalam menjabarkannya menjadi serangkaian teori dan hipotesis. Bangsa ini sejak mengalami krisis ekonomi pada 1998 lalu tampaknya semakin menyadari jika kewirausahaan menjadi salah satu faktor penting yang mempertahankan keberlanjutan bangsa ini hingga saat ini. Pun demikian, di saat yang sama pula, tumbuh berbagai inisiatif pemberdayaan masyarakat dengan jalan-jalan kewirausahaan yang menggeliat menyemarakkan peradaban bangsa. Pada fase inilah, kewirausahaan sosial mulai memperlihatkan diri. Tampil sebagai nilai penyeimbang di antara kapitalisme dan individualisme yang semakin membesar. Berbagai persoalan masyarakat yang bersentuhan dengan hal-hal yang sifatnya multidimensi dapat diantisipasi dengan eksistensi kewirausahaan sosial. Ada banyak contoh yang tersaji dalam perhelatan ini. Beberapa di antaranya memiliki catatan mengagumkan yang tersembunyi di antara ekspos pemberitaan politik yang tak kunjung usai karena konflik kepentingan.
Satu yang menggoda saya adalah bagaimana bangsa ini pernah melupakan kekayaan alam berupa varietas padi lokal. Helianti Hilman, pendiri PT Kampung Kearifan Indonesia yang membawa saya ke kesadaran tersebut. Helianti yang memiliki merek bernama Javara ini berhasil melestarikan kearifan lokal Indonesia dan menjadikan varietas lokal beras Indonesia sebagai salah satu kekayaan gastronomi dunia yang diakui. Indonesia memiliki 7000 varietas padi lokal yang masing-masing memiliki kandungan gizi tersendiri bahkan dapat menjadi "obat" bagi beberapa penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, dan gangguan jantung. Melalui jaringan petani padi yang dimilikinya, dia kemudian mengeksplorasi varietas padi lokal ini yang 100% harus ditanam dengan metode organik plus dengan tata cara yang menempatkan langit sebagai bapak dan bumi sebagai ibu. Di tengah eksplorasinya tersebut, dia juga mengakui harus gigit jari bahkan sampai kecewa ketika banyak dari varietas lokal tersebut kini justru musnah di tanah kelahirannya sendiri. Varietas lokal ini memang memiliki masa tanam lama (sekitar 6-7 bulan) dengan produktivitas yang kecil. "Keberadaan mereka dilibas dengan varietas padi hibrida ketika Indonesia dipacu swasembada beras," ujarnya.
Bukan hanya Helianti, ada juga cerita dari Farha Ciciek dari Desa Ledokombo di ujung timur Jember. Melalui tangan dinginnya yang dilakukan bersama dengan suami, dirinya menghadirkan keceriaan bagi anak-anak di desa tersebut yang harus ditinggal oleh ibunya yang menjadi buruh migran. Ada juga Susilo yang menginisiasi Sanggar Anak Akar di Jakarta Timur. Melalui sanggar ini, dia melakukan transformasi sosial anak-anak jalanan dan terpinggirkan menjadi manusia yang memahami esensi kehidupannya. Mereka diajari berdemokrasi, hidup bertoleransi, bahkan berjuang setingginya untuk cita-cita belajar di perguruan tinggi. Pendidikan alternatif, itulah yang mungkin kini disematkan padanya. Di sektor potensi lokal ada cerita dari Adinindyah dari Perkumpulan Lawe Yogyakarta yang sibuk memberdayakan perempuan penenun dan memasarkannya dalam bentuk produk kreatif yang berdaya guna dan cantik. Semangat kepedulian generasi muda tampak jelas dari keberadaan komunitas Dreamdelion di Manggarai, Jakarta yang diinisiasi oleh Alia Noor Anoviar dari Universitas Indonesia.
Bagaimanapun juga cerita-cerita tersebut mengantarkan kesadaran kita jika bangsa ini sesungguhnya bergerak untuk menyelesaikan tantangannya sendiri. Mereka semua hadir dengan kesadaran sendiri untuk berbagi kemampuan yang mereka miliki untuk kemaslahatan bersama. Dari sekian banyak alasan yang menjadi benang merah gerakan mereka adalah mereka menginspirasi komunitas yang ada di lingkungan mereka untuk kembali ke kearifan lokal mereka. Inilah jalan yang membawa mereka ke pangkuan budaya rakyat. Budaya yang tumbuh dari akar mereka sendiri dan terbukti menjadi solusi bagi tantangan peradaban mereka saat ini.
Prayoga Danuwirahadi
Relawan dan Founder AkuKamuIndonesia.com
Berbicara soal kewirausahaan, tampaknya Indonesia sudah sangat ahli dalam menjabarkannya menjadi serangkaian teori dan hipotesis. Bangsa ini sejak mengalami krisis ekonomi pada 1998 lalu tampaknya semakin menyadari jika kewirausahaan menjadi salah satu faktor penting yang mempertahankan keberlanjutan bangsa ini hingga saat ini. Pun demikian, di saat yang sama pula, tumbuh berbagai inisiatif pemberdayaan masyarakat dengan jalan-jalan kewirausahaan yang menggeliat menyemarakkan peradaban bangsa. Pada fase inilah, kewirausahaan sosial mulai memperlihatkan diri. Tampil sebagai nilai penyeimbang di antara kapitalisme dan individualisme yang semakin membesar. Berbagai persoalan masyarakat yang bersentuhan dengan hal-hal yang sifatnya multidimensi dapat diantisipasi dengan eksistensi kewirausahaan sosial. Ada banyak contoh yang tersaji dalam perhelatan ini. Beberapa di antaranya memiliki catatan mengagumkan yang tersembunyi di antara ekspos pemberitaan politik yang tak kunjung usai karena konflik kepentingan.
Satu yang menggoda saya adalah bagaimana bangsa ini pernah melupakan kekayaan alam berupa varietas padi lokal. Helianti Hilman, pendiri PT Kampung Kearifan Indonesia yang membawa saya ke kesadaran tersebut. Helianti yang memiliki merek bernama Javara ini berhasil melestarikan kearifan lokal Indonesia dan menjadikan varietas lokal beras Indonesia sebagai salah satu kekayaan gastronomi dunia yang diakui. Indonesia memiliki 7000 varietas padi lokal yang masing-masing memiliki kandungan gizi tersendiri bahkan dapat menjadi "obat" bagi beberapa penyakit degeneratif seperti diabetes, kanker, dan gangguan jantung. Melalui jaringan petani padi yang dimilikinya, dia kemudian mengeksplorasi varietas padi lokal ini yang 100% harus ditanam dengan metode organik plus dengan tata cara yang menempatkan langit sebagai bapak dan bumi sebagai ibu. Di tengah eksplorasinya tersebut, dia juga mengakui harus gigit jari bahkan sampai kecewa ketika banyak dari varietas lokal tersebut kini justru musnah di tanah kelahirannya sendiri. Varietas lokal ini memang memiliki masa tanam lama (sekitar 6-7 bulan) dengan produktivitas yang kecil. "Keberadaan mereka dilibas dengan varietas padi hibrida ketika Indonesia dipacu swasembada beras," ujarnya.
Bukan hanya Helianti, ada juga cerita dari Farha Ciciek dari Desa Ledokombo di ujung timur Jember. Melalui tangan dinginnya yang dilakukan bersama dengan suami, dirinya menghadirkan keceriaan bagi anak-anak di desa tersebut yang harus ditinggal oleh ibunya yang menjadi buruh migran. Ada juga Susilo yang menginisiasi Sanggar Anak Akar di Jakarta Timur. Melalui sanggar ini, dia melakukan transformasi sosial anak-anak jalanan dan terpinggirkan menjadi manusia yang memahami esensi kehidupannya. Mereka diajari berdemokrasi, hidup bertoleransi, bahkan berjuang setingginya untuk cita-cita belajar di perguruan tinggi. Pendidikan alternatif, itulah yang mungkin kini disematkan padanya. Di sektor potensi lokal ada cerita dari Adinindyah dari Perkumpulan Lawe Yogyakarta yang sibuk memberdayakan perempuan penenun dan memasarkannya dalam bentuk produk kreatif yang berdaya guna dan cantik. Semangat kepedulian generasi muda tampak jelas dari keberadaan komunitas Dreamdelion di Manggarai, Jakarta yang diinisiasi oleh Alia Noor Anoviar dari Universitas Indonesia.
Bagaimanapun juga cerita-cerita tersebut mengantarkan kesadaran kita jika bangsa ini sesungguhnya bergerak untuk menyelesaikan tantangannya sendiri. Mereka semua hadir dengan kesadaran sendiri untuk berbagi kemampuan yang mereka miliki untuk kemaslahatan bersama. Dari sekian banyak alasan yang menjadi benang merah gerakan mereka adalah mereka menginspirasi komunitas yang ada di lingkungan mereka untuk kembali ke kearifan lokal mereka. Inilah jalan yang membawa mereka ke pangkuan budaya rakyat. Budaya yang tumbuh dari akar mereka sendiri dan terbukti menjadi solusi bagi tantangan peradaban mereka saat ini.
Prayoga Danuwirahadi
Relawan dan Founder AkuKamuIndonesia.com