Masril Koto Inginkan Pancasila Tampil Lebih Modis
Tiga relawan Jaringan RumahUSAHA yaitu iLik sAs, Agung Kurniawan, dan Adhimmas Nugroho diundang oleh Liga Gerakan Kebudayaan Pancasila untuk mengikuti Bincang Santai di Rempah Wangi Lounge Jakarta pada Sabtu (8/2) yang lalu. Diskusi yang mempertemukan lintas generasi tersebut diinisiasi untuk memberikan pandangan bagaimana Pancasila harus diaktualisasi dalam kekinian. Relawan Agung Kurniawan menurunkan laporannya untuk Anda.
Pancasila? Agaknya kata ini saat ini sudah tidak masuk dalam “trending topic” dalam diskusi yang mengemuka di ruang-ruang media sosial seperti Twitter, Path, atau Facebook. Dasar negara Indonesia itu kini seakan teronggok di sudut ruang negara yang kemudian diusung ke tengah panggung kehidupan hanya pada saat seremoni belaka. Atau bahkan generasi muda hari ini hanya mengenalnya sebagai salah satu mata pelajaran di bangku sekolah dan kuliah. Ironis. Tetapi, itulah fenomena sosial yang terjadi di Indonesia hari ini. Nilai kehidupan Pancasila yang begitu luhur seakan hilang begitu saja ketika kita dihadapkan pada fakta lapangan mengenai penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan semakin besarnya kesenjangan sosial. Doktrinasi yang begitu kuat pada zaman Orde Baru berkuasa seakan menguap begitu saja hari ini. Pilar kebangsaan ini semakin terasing justru di komunitas yang para pendahulunya sepakat memilihnya sebagai dasar negara.
Inilah yang menjadi topik utama pembahasan diskusi yang dilakukan mulai dari pagi hingga sore tersebut. Liga Gerakan Kebudayaan Pancasila merupakan sebuah gagasan yang diinisiasi oleh para mantan purnawirawan dan pejabat strategis di era Orde Baru. Mereka termasuk dalam komunitas yang menjadi arsitek kemerdekaan Indonesia bahkan menjadi kreator dari butir-butir penghayatan dan pengamalan Pancasila yang legendaris itu. Beberapa nama dari kelompok senior yang hadir di diskusi hangat di akhir pekan tersebut antara lain Sayidiman Kartohadiprojo (mantan duta besar dan Gubernur Lemhanas), Soetarto Sigit (mantan militer yang memiliki karier diplomasi panjang), Soeprapto (mantan Kepala BP7 Pusat dan salah satu arsitek P4), Frans M. Parera (penulis dan mantan eksekutif di Kelompok Penebitan Gramedia), dan beberapa tokoh lainnya. Kontras dengan mereka semua, hadir generasi muda dan penerus cita-cita perjuangan kemerdekaan yang kini tengah berkarya sebagai profesional dan wirausaha. Ada Mahdi Syahbuddin (bankir dan direksi di BTPN), Masril Koto (wirausaha sosial dan pegiat LKMA Prima Tani), Silverius Oscar Unggul (pemberdaya masyarakat hutan dan pendiri LSM Telapak), Irza Effendy (dosen dan praktisi seafarming), serta Suhada-Badariah (pasangan suami istri pengumpul madu hutan).
Diskusi dibuka dengan pemaparan uneg-uneg dari masing-masing peserta mengenai kondisi bangsa saat ini. Sayidiman Kartohadiprojo menggebrak diskusi dengan sebuah kenyataan jika bangsa ini tengah dihinggapi mentalitas manja yang luar biasa. Sudah hampir tidak ada lagi kedisplinan dalam perikehidupan kita. Hasilnya, kesenjangan semakin lebar karena pola distribusi pendapatan tidak akan pernah bergulir secara merata. Pada fase inilah dibutuhkan sebuah nilai kebangsaan yang dapat mengubah itu semua. Itulah fungsi Pancasila. Mengapa? Karena di dalam Pancasila terkandung sebuah nilai kegotongroyongan yang terbukti menjadi faktor pengungkit berbagai kemajuan ekonomi di negara tetangga. Sayidiman yang pernah menjadi Duta Besar di Jepang menceritakan jika industri di Jepang dapat tumbuh luar biasa karena adanya sebuah solidaritas kelompok yang sangat kuat. Solidaritas tersebut saling menumbuhkan dan hasilnya membuat ekonomi Jepang termasuk solid. Senada dengan Sayidiman, Mahdi Syahbuddin menambahkan jika inti dari sebuah masyarakat berpengetahuan adalah kebiasaan berdiskusi yang tumbuh di dalamnya. Dan diskusi tersebut saat ini sebaiknya juga tidak hanya berkutat seputar logika saja, tetapi juga di ranah yang disebut sebagai filosofi perenial. Sebuah filosofi yang mendasarkan pada hal-hal keluhuran dan nilai keagaamaan.
Forum kemudian bergerak cepat hingga akhirnya membahas mengenai bagaimana Pancasila harus tampil dalam kekinian. Masril Koto, pegiat pertanian dan lembaga keuangan mikro dari Sumatera Barat, menekankan pentingnya Pancasila harus tampil dalam bentuk yang lebih modis. Hal ini penting sebagai upaya untuk mendekatkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda yang anti indoktrinasi. Dia menceritakan juga bagaimana petani justru menjadi tidak produktif ketika pemerintah memasuki wilayah privasi petani. Padahal, salah satu sokoguru perekonomian bangsa ini adalah pertanian. Menambahkan pernyataan tersebut, Soeprapto yang merupakan salah satu arsitek P4 pada zaman Orde Baru menjelaskan jika paradigma saat ini harus dikembalikan ke desa. Desa harus dibangun sebagai sebuah monumen untuk menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila, termasuk ke dalam implementasi kesejahteraan sosial. Pentingnya desa juga ditambahkan oleh Irzal Effendy dan Suhada-Badariah yang menyampaikan jika pelestarian lingkungan hidup tidak akan pernah berhasil jika masyarakat tidak diberi kesempatan untuk ikut menikmati hasil ekonomi dari ekosistem di hadapannya.
Diskusi kemudian berlangsung dalam suasana yang hangat meskipun ada perbedaan cara pandang yang lebar. Kesediaan kalangan senior untuk mendengarkan dan mencari pandangan baru berpadu apik dengan idealisme dari generasi yang lebih muda yang disampaikan dalam rima bahasa yang santun. Forum kemudian sepakat jika nilai-nilai Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi, semuanya telah dianggap ideal oleh bangsa ini. Tetapi, tugas bersama hari ini adalah bagaimana sosialisasi nilai-nilai tersebut sangat bersentuhan dengan sisi paling nyata dari kehidupan masyarakat. Melakukan hal-hal baik dalam proses keekonomian menjadi salah satu gerbong yang diharapkan dapat menjadi pemicu kesadaran masyarakat untuk kembali mempelajari nilai-nilai luhur.
Pancasila? Agaknya kata ini saat ini sudah tidak masuk dalam “trending topic” dalam diskusi yang mengemuka di ruang-ruang media sosial seperti Twitter, Path, atau Facebook. Dasar negara Indonesia itu kini seakan teronggok di sudut ruang negara yang kemudian diusung ke tengah panggung kehidupan hanya pada saat seremoni belaka. Atau bahkan generasi muda hari ini hanya mengenalnya sebagai salah satu mata pelajaran di bangku sekolah dan kuliah. Ironis. Tetapi, itulah fenomena sosial yang terjadi di Indonesia hari ini. Nilai kehidupan Pancasila yang begitu luhur seakan hilang begitu saja ketika kita dihadapkan pada fakta lapangan mengenai penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan semakin besarnya kesenjangan sosial. Doktrinasi yang begitu kuat pada zaman Orde Baru berkuasa seakan menguap begitu saja hari ini. Pilar kebangsaan ini semakin terasing justru di komunitas yang para pendahulunya sepakat memilihnya sebagai dasar negara.
Inilah yang menjadi topik utama pembahasan diskusi yang dilakukan mulai dari pagi hingga sore tersebut. Liga Gerakan Kebudayaan Pancasila merupakan sebuah gagasan yang diinisiasi oleh para mantan purnawirawan dan pejabat strategis di era Orde Baru. Mereka termasuk dalam komunitas yang menjadi arsitek kemerdekaan Indonesia bahkan menjadi kreator dari butir-butir penghayatan dan pengamalan Pancasila yang legendaris itu. Beberapa nama dari kelompok senior yang hadir di diskusi hangat di akhir pekan tersebut antara lain Sayidiman Kartohadiprojo (mantan duta besar dan Gubernur Lemhanas), Soetarto Sigit (mantan militer yang memiliki karier diplomasi panjang), Soeprapto (mantan Kepala BP7 Pusat dan salah satu arsitek P4), Frans M. Parera (penulis dan mantan eksekutif di Kelompok Penebitan Gramedia), dan beberapa tokoh lainnya. Kontras dengan mereka semua, hadir generasi muda dan penerus cita-cita perjuangan kemerdekaan yang kini tengah berkarya sebagai profesional dan wirausaha. Ada Mahdi Syahbuddin (bankir dan direksi di BTPN), Masril Koto (wirausaha sosial dan pegiat LKMA Prima Tani), Silverius Oscar Unggul (pemberdaya masyarakat hutan dan pendiri LSM Telapak), Irza Effendy (dosen dan praktisi seafarming), serta Suhada-Badariah (pasangan suami istri pengumpul madu hutan).
Diskusi dibuka dengan pemaparan uneg-uneg dari masing-masing peserta mengenai kondisi bangsa saat ini. Sayidiman Kartohadiprojo menggebrak diskusi dengan sebuah kenyataan jika bangsa ini tengah dihinggapi mentalitas manja yang luar biasa. Sudah hampir tidak ada lagi kedisplinan dalam perikehidupan kita. Hasilnya, kesenjangan semakin lebar karena pola distribusi pendapatan tidak akan pernah bergulir secara merata. Pada fase inilah dibutuhkan sebuah nilai kebangsaan yang dapat mengubah itu semua. Itulah fungsi Pancasila. Mengapa? Karena di dalam Pancasila terkandung sebuah nilai kegotongroyongan yang terbukti menjadi faktor pengungkit berbagai kemajuan ekonomi di negara tetangga. Sayidiman yang pernah menjadi Duta Besar di Jepang menceritakan jika industri di Jepang dapat tumbuh luar biasa karena adanya sebuah solidaritas kelompok yang sangat kuat. Solidaritas tersebut saling menumbuhkan dan hasilnya membuat ekonomi Jepang termasuk solid. Senada dengan Sayidiman, Mahdi Syahbuddin menambahkan jika inti dari sebuah masyarakat berpengetahuan adalah kebiasaan berdiskusi yang tumbuh di dalamnya. Dan diskusi tersebut saat ini sebaiknya juga tidak hanya berkutat seputar logika saja, tetapi juga di ranah yang disebut sebagai filosofi perenial. Sebuah filosofi yang mendasarkan pada hal-hal keluhuran dan nilai keagaamaan.
Forum kemudian bergerak cepat hingga akhirnya membahas mengenai bagaimana Pancasila harus tampil dalam kekinian. Masril Koto, pegiat pertanian dan lembaga keuangan mikro dari Sumatera Barat, menekankan pentingnya Pancasila harus tampil dalam bentuk yang lebih modis. Hal ini penting sebagai upaya untuk mendekatkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda yang anti indoktrinasi. Dia menceritakan juga bagaimana petani justru menjadi tidak produktif ketika pemerintah memasuki wilayah privasi petani. Padahal, salah satu sokoguru perekonomian bangsa ini adalah pertanian. Menambahkan pernyataan tersebut, Soeprapto yang merupakan salah satu arsitek P4 pada zaman Orde Baru menjelaskan jika paradigma saat ini harus dikembalikan ke desa. Desa harus dibangun sebagai sebuah monumen untuk menegakkan kembali nilai-nilai Pancasila, termasuk ke dalam implementasi kesejahteraan sosial. Pentingnya desa juga ditambahkan oleh Irzal Effendy dan Suhada-Badariah yang menyampaikan jika pelestarian lingkungan hidup tidak akan pernah berhasil jika masyarakat tidak diberi kesempatan untuk ikut menikmati hasil ekonomi dari ekosistem di hadapannya.
Diskusi kemudian berlangsung dalam suasana yang hangat meskipun ada perbedaan cara pandang yang lebar. Kesediaan kalangan senior untuk mendengarkan dan mencari pandangan baru berpadu apik dengan idealisme dari generasi yang lebih muda yang disampaikan dalam rima bahasa yang santun. Forum kemudian sepakat jika nilai-nilai Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi, semuanya telah dianggap ideal oleh bangsa ini. Tetapi, tugas bersama hari ini adalah bagaimana sosialisasi nilai-nilai tersebut sangat bersentuhan dengan sisi paling nyata dari kehidupan masyarakat. Melakukan hal-hal baik dalam proses keekonomian menjadi salah satu gerbong yang diharapkan dapat menjadi pemicu kesadaran masyarakat untuk kembali mempelajari nilai-nilai luhur.