FORUM WEDANGAN NOVEMBER 2014
Antara Nilai Inti dan Kreativitas
Forum Wedangan kembali lagi pada bulan November 2014 ini. Setelah lama tak menyapa, forum yang egaliter, cair, namun hangat itu hadir dengan mengusung tema "Kreatip Sesarengan, Makaryo kanthi Becik". Forum Wedangan kali ini dihelat di Ruang Lokapala Gedung Bank Indonesia Semarang pada Jumat (21/11) yang lalu. Forum yang dihadiri lebih dari 400 orang tersebut bukan hanya menjadi forum berkangen semata tetapi juga membangun jejaring baru karena Forum Wedangan kali ini didominasi oleh kalangan muda. Mari kita kreatif bersama-sama...
Rumah bagi sebagian besar orang adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang harus dijaga. Itu karena dia mencerminkan pencapaian dari sang penghuni. Tak jarang, untuk rumah segala yang terbaik senantiasa dicurahkan. Tetapi itu ternyata tidak berlaku bagi seorang Prie Gs. Rumah baginya tidak melulu soal yang serba baik. Rumah adalah di mana sebuah nilai inti itu bermula dan dipelajari. Untuk inilah, Prie Gs kemudian mengangkat cerita satire tentang rumah pertamanya. Rumah yang dirangkai dari 2 kavling tipe 21 yang mungil dan di depannya terdapat rimbun pohon mangga. Inilah rumah yang dibangunnya dari hasil jerih payahnya ketika menjadi jurnalis dan menapaki karier awal sebagai pembicara.
Rumah tersebut oleh Prie Gs disebut sebagai rumah pengentasan kemiskinan. Pasalnya, setiap bagian pengembangan rumah itu tidak dikerjakan oleh kontraktor profesional tetapi oleh tetangga sekitar yang kebetulan sedang membutuhkan pekerjaan. Jadilah rumah itu menjadi sebuah laboratorium eksperimen " kebodohan". Finalnya adalah ketika Prie Gs memanggil dua pejalan yang tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon mangga di depan rumahnya. Saat itu, tersisa pekerjaan memasang keramik di rumah tersebut. Jadilah dua orang ini kemudian dengan sigap menjadi tukang keramik dadakan. Karena dadakan itulah, hasilnya adalah sebuah kekonyolan. Keramik yang sudah dipasang itu tidak bertemu di bagian tengah ruangan karena mereka mengerjakannya dari arah yang berlawanan tanpa ada kesepakatan pola. Inilah puncak dari kekonyolan yang segera menjadi tema konsolidasi keluarga.
Dari cerita inilah, Prie Gs kemudian justru tengah meneguhkan sebuah nilai inti. Nilai yang membuat segala sesuatu tentang kita menjadi unik dan berharga di mata lainnya. Nilai inilah yang menjadikan kita memiliki keunggulan komparatif yang membuat kita bertahan. Kerinduan akan nilai inti inilah yang kemudian membuat seorang Liesmia Harmanto bersama dengan suaminya, Agus Harmanto, meninggalkan kenyamanan hidup yang sudah dihadiahkan sang suami yang menjadi direksi di salah satu perusahaan. Kerinduan yang kemudian menjadi obsesi dan diwujudkan melalui jalan kewirausahaan. Pasangan suami-istri inilah pemilik dan pengelola jaringan rumah makan Gule Kepala Ikan Mas Agus yang jumlah gerainya kini sudah berjumlah 52 lokasi. Mereka berdua memulai itu semua dari nol. Mereka belajar sejak dari mencuci piring hingga mengelola pertumbuhan gerainya.
Hasilnya tak pernah sia-sia. Kini, mereka berdua menikmati hasil jerih-payahnya dengan puluhan cabang yang tersebar di berbagai kota. Bahkan, menurut Liesmia, sudah daftar tunggu hingga 250 lebih lokasi yang hendak bermitra dengannya. Dari hasil inilah, Liesmia kemudian membangun cerita idealisme dengan mendedikasikan 20% keuntungan dari setiap gerai untuk memberi makan dhuafa. Mengenai besaran itu, dia meyakini jika apa yang ada di kehidupannya hari ini adalah perang melawan hawa-nafsunya sendiri. Untuk itulah, harta yang dimilikinya harus diakui sebagai harta pampasan perang. Sebuah hikayat Rasulullah memberikan teladan jika ingin membersihkan harta pampasan perang tersebut maka 20%-nya harus didedikasikan untuk kepentingan dhuafa. Hal inilah yang kemudian ditiru oleh Liesmia hingga saat ini.
Di samping menjalankan bisnis, dengan berlandaskan semangat berbagai, Liesmia kini menjelajah Indonesia untuk membagikan semangat kemandirian ke lebih banyak orang. Lebih khusus lagi, dia memiliki cita-cita jika seorang ibu rumah tangga juga bisa memiliki fungsi ekonomi yang memperkuat perekonomian keluarga. Inilah nilai inti bisnis pasangan Agus-Liesmia. Dari sinilah sebuah keunggulan itu bermula. Semoga!
Rumah bagi sebagian besar orang adalah sesuatu yang sakral. Sesuatu yang harus dijaga. Itu karena dia mencerminkan pencapaian dari sang penghuni. Tak jarang, untuk rumah segala yang terbaik senantiasa dicurahkan. Tetapi itu ternyata tidak berlaku bagi seorang Prie Gs. Rumah baginya tidak melulu soal yang serba baik. Rumah adalah di mana sebuah nilai inti itu bermula dan dipelajari. Untuk inilah, Prie Gs kemudian mengangkat cerita satire tentang rumah pertamanya. Rumah yang dirangkai dari 2 kavling tipe 21 yang mungil dan di depannya terdapat rimbun pohon mangga. Inilah rumah yang dibangunnya dari hasil jerih payahnya ketika menjadi jurnalis dan menapaki karier awal sebagai pembicara.
Rumah tersebut oleh Prie Gs disebut sebagai rumah pengentasan kemiskinan. Pasalnya, setiap bagian pengembangan rumah itu tidak dikerjakan oleh kontraktor profesional tetapi oleh tetangga sekitar yang kebetulan sedang membutuhkan pekerjaan. Jadilah rumah itu menjadi sebuah laboratorium eksperimen " kebodohan". Finalnya adalah ketika Prie Gs memanggil dua pejalan yang tengah berteduh di bawah rerimbunan pohon mangga di depan rumahnya. Saat itu, tersisa pekerjaan memasang keramik di rumah tersebut. Jadilah dua orang ini kemudian dengan sigap menjadi tukang keramik dadakan. Karena dadakan itulah, hasilnya adalah sebuah kekonyolan. Keramik yang sudah dipasang itu tidak bertemu di bagian tengah ruangan karena mereka mengerjakannya dari arah yang berlawanan tanpa ada kesepakatan pola. Inilah puncak dari kekonyolan yang segera menjadi tema konsolidasi keluarga.
Dari cerita inilah, Prie Gs kemudian justru tengah meneguhkan sebuah nilai inti. Nilai yang membuat segala sesuatu tentang kita menjadi unik dan berharga di mata lainnya. Nilai inilah yang menjadikan kita memiliki keunggulan komparatif yang membuat kita bertahan. Kerinduan akan nilai inti inilah yang kemudian membuat seorang Liesmia Harmanto bersama dengan suaminya, Agus Harmanto, meninggalkan kenyamanan hidup yang sudah dihadiahkan sang suami yang menjadi direksi di salah satu perusahaan. Kerinduan yang kemudian menjadi obsesi dan diwujudkan melalui jalan kewirausahaan. Pasangan suami-istri inilah pemilik dan pengelola jaringan rumah makan Gule Kepala Ikan Mas Agus yang jumlah gerainya kini sudah berjumlah 52 lokasi. Mereka berdua memulai itu semua dari nol. Mereka belajar sejak dari mencuci piring hingga mengelola pertumbuhan gerainya.
Hasilnya tak pernah sia-sia. Kini, mereka berdua menikmati hasil jerih-payahnya dengan puluhan cabang yang tersebar di berbagai kota. Bahkan, menurut Liesmia, sudah daftar tunggu hingga 250 lebih lokasi yang hendak bermitra dengannya. Dari hasil inilah, Liesmia kemudian membangun cerita idealisme dengan mendedikasikan 20% keuntungan dari setiap gerai untuk memberi makan dhuafa. Mengenai besaran itu, dia meyakini jika apa yang ada di kehidupannya hari ini adalah perang melawan hawa-nafsunya sendiri. Untuk itulah, harta yang dimilikinya harus diakui sebagai harta pampasan perang. Sebuah hikayat Rasulullah memberikan teladan jika ingin membersihkan harta pampasan perang tersebut maka 20%-nya harus didedikasikan untuk kepentingan dhuafa. Hal inilah yang kemudian ditiru oleh Liesmia hingga saat ini.
Di samping menjalankan bisnis, dengan berlandaskan semangat berbagai, Liesmia kini menjelajah Indonesia untuk membagikan semangat kemandirian ke lebih banyak orang. Lebih khusus lagi, dia memiliki cita-cita jika seorang ibu rumah tangga juga bisa memiliki fungsi ekonomi yang memperkuat perekonomian keluarga. Inilah nilai inti bisnis pasangan Agus-Liesmia. Dari sinilah sebuah keunggulan itu bermula. Semoga!
Tidak ada komentar:
Silahkan isi komentar ...